Saturday, December 12, 2015

6. Because you love her..


“kamu ingin aku memulai darimana?”
Aku menatap lurus kedepan, seakan mengisyaratkan orang yang bertanya tersebut untuk melanjutkan ceritanya yang mungkin terdengar mengerikan.
“Dave sempat menjadi pecandu.” Mulainya tanpa menilai reaksiku. “kurang lebih 2 tahun yang lalu dia di rehab.” Lanjutnya lagi menimbang-nimbang. “vina, pacarnya juga sempat terjerumus, tapi sayang dia OD.
“mereka berdua menjadi pelajaran bagi keluarga kami, bahwa tidak selamanya uang bisa membeli kebahagiaan. Ketika kami semua mengira bahwa kami baik-baik saja, tapi ternyata kami membusuk dari dalam. Kami berusaha untuk bangkit kembali, walaupun aku sadar keluarga kami rentan dengan kehidupan gelap seperti Dave. Banyak yang mengincar posisi oma, kamu sudah tahu bagaimana kekayaan itu bisa menguasai hawa nafsu seseorang. Aku yang memang sudah ditetapkan untuk menjadi pemegang utama Oei group merasa lelah dengan semua ini. Tapi aku tidak akan begitu saja menyerahkan hasil kerja keras oma selama ini ke tangan yang salah. Ini adalah perusahaan yang dibangun oleh oma dan kakek dengan susah payah. Jadi aku akan bertanggung jawab, walaupun aku harus terlihat seperti tamak akan kekuasaan untuk menjadi penerus perusahaan ini. Akan terasa sulit memang dalam hubungan kita, jujur, hatiku masih mencintai Sylvia. Tidak semudah itu melupakan dia.” Akhirinya, seperti ada sesuatu yang mencekat tenggorokannya.
“well, kamu bisa meneruskan hubunganmu dengan Sylvia. Aku tidak akan menjadi penghalang buatmu dan dia.” Balasku jujur, tidak ingin menjadi pengganggu hubungan orang, apalagi aku bukan siapa-siapa.
“kamu tidak mengerti juga?” tanyanya putus asa, menghela nafas panjang. “oma tidak menyukai keluarganya Sylvia karena sampai detik ini, oma masih mengganggap keluarganya adalah dalang kecelakaan yang terjadi pada kedua orangtuaku. Dan aku tidak bisa dengan mudahnya membangun hubungan dengan mereka, apalagi oma tahu kebusukan ayah Sylvia untuk menguasai perusahaan ini.”
“apakah kamu akan begitu saja melepaskan cintamu hanya karna kecelakaan orangtuamu yang belum tentu adalah kesalahan orangtua Sylvia?”
“aku bukannya tidak menyelidikinya Andreana.” Balas Edgar terdengar frustasi. “Semua bukti-bukti yang tidak konkrit mengarah ke ayah Sylvia. Aku juga sempat frustasi mengenai hal ini, Sylvia juga. Lalu kami memutuskan untuk menjalani hubungan di belakang oma. Tapi semuanya terasa sulit sekarang.”
“terserah.” Kataku seakan tidak mau peduli. “aku tidak ingin bermain permainan ini lagi. Aku takut, aku lelah.” Lanjutku. “kamu bisa menurunkan aku didepan pos jaganya saja.” Kataku menunjuk sebuah pos berwarna orange.
“jika kamu benar-benar ingin memperjuangkan apa yang oma dulu perjuangkan, harusnya kamu juga bisa memperjuangkan apa yang ingin kamu perjuangkan saat ini. Jika itu memang sulit dilakukan, tentukan prioritasmu. Karna kamu harus berkorban untuk sesuatu yang harus kamu perjuangkan, begitulah hukumnya. Terima kasih untuk tumpangannya.”
Aku menutup pintu disampingku dan melihat dia sebentar yang terlihat kesal dan frustasi. ‘hukumnya?’ batinku ngeri.
***

Aku sering melihat Edgar dan Sylvia tampak akur dikampus, entahlah aku tidak pernah melihat mereka berdua selain dari tempat ini. Edgar sepertinya sedang menghindariku selama seminggu ini karena setiap kali aku berpapasan dengan dia dijalan, di daerah kampus tentunya, dia tidak menyapaku dan bahkan tidak menatapku sama sekali. Jika dimasukkan dalam kosakata koas, aku ini sedang “di-invins” untuk invincible. Terserahlah, aku tidak peduli lagi, invis dan lost contact yang terjadi telah kuanggap sebagai berakhirnya hubungan kami. Cukup aku simpan sendiri kisah aneh yang menimpaku beberapa minggu belakangan ini dan aku tidak ingin menambah-nambahinya dengan yang lebih aneh lagi. Aku pun sudah mengikhlaskan Kevin, ’dia bisa move on kenapa aku ngga?’ kataku dalam hati menghibur diri sendiri.
“hai.”
Terdengar sapa seseorang, yang mengalihkan perhatianku pada sebuah novel terjemahan ditanganku.
“ehm, hai.” Jawabku tergagap, orang itu tersenyum kepadaku dan terdiam sesaat sebelum dia melanjutkannya.
“ok, aku memang tidak kenal dirimu.” Katanya setelah mungkin sedang menyusun kata-kata dikepalanya. “aku tidak tahu apa isi hatimu saat ini, namun aku mohon padamu untuk tidak meninggalkan Edgar.” Katanya langsung to the point.
Aku mengernyitkan dahiku seolah sedang berpikir keras, tidak biasa mendapatkan percakapan yang langsung ke intinya tanpa basa-basi. “aku tidak mengerti.”
“aku yakin kamu mengerti maksudku. Aku tidak bisa bersamanya dan itu baru kusadari selama 1 minggu ini bersamanya tanpa diganggu oleh kehadiranmu.”
“o-oh..” jawabku reflex. “j-.” aku baru saja akan melanjutkan keterkejutanku yang mengetahui alasan kenapa Edgar menghindariku namun disela oleh perempuan tampang bourjuis didepanku ini.
“Edgar akan kehilangan segala-galanya.”
Hati dan pikiranku langsung mencelos. ‘kehilangan segala-galanya?’ aku langsung menyadari apa maksud dari isi percakapan ini. “jika Edgar kehilangan segalanya, lantas apakah kamu akan tetap disisinya?” tenggorokanku tercekat melontarkan pertanyaan lancang seperti itu.
Wajah perempuan didepanku tampak tidak suka dengan pertanyaanku, tergambar jelas kegelisahan dan kegundahannya sebelum ia menjawab “iya” yang singkat padat jelas itu.
“apakah kamu tahu, yang menyuruh Edgar untuk memperjuangkan cintanya daripada harta dan apapun itu dalam keluarganya itu aku?”
Wajah perempuan itu berubah kemerahan walaupun sebenarnya dia sudah memakai perona pipi, dan semakin jelas dengan naturalyl blushing yang dialaminya sekarang. Kemudian dia tertawa sarkastik seakan menutup perasaan malunya. “ini tidak seperti drama-drama yang ada di tivi andreana!” jawabnya sarkastik. “kamu pikir aku tidak mau memperjuangkan dia untuk tetap disisiku? Mengeyampingkan masalah keluarga kami yang begitu complicated ini? Mungkin aku salah meminta pertolongan dari orang sepertimu.” Tandasnya lagi.
“orang sepertiku? Maksudnya dari orang segi social ekonomi menengah?” tanyaku memperjelas sambil menatap dia tajam ingin sekali melayangkan sebuah tamparan di wajah cantiknya. Perempuan itu seperti menyesal melontarkan kata-kata barusan. “satu hal yang kuyakini, jika kamu diantara dua pilihan sulit, kamu harus memprioritaskan mana yang akan kamu pilih bahkan kamu perlu berkorban untuk pilihan tersebut. Dan kupikir Edgar telah menentukan apa yang mesti dia perjuangkan agar kelak dia tidak menyesal.”
Aku menunggu perempuan itu membalas kata-kataku, namun seakan tahu dia tidak akan membalas aku melanjutkan kalimatku. “dan sepertinya kamu tidak bisa menerima itu, aku tidak tahu alasanmu apa..” lanjutku sedikit melunak. “..namun dari kegelisahanmu dan pertemuan kita yang straight to the point aku meyakini kamu tidak setuju dengan pilihan Edgar. Kuharap kamu tidak menyesal dengan pilihanmu ini.”
Wajah perempuan itu semakin merah seakan kata-kataku barusan telah menamparnya keras-keras juga sedikit terkejut kalau aku menyadari perubahan-perubahan sikap tubuhnya yang menunjukkan kegelisahan dan suaranya terdengar bergetar sedari awal kami beradu pandang.
“aku tanya sekali lagi, apakah kamu yakin dengan pilihanmu? Karena aku bukan tipe wanita pengganggu, perusak atau apapun istilahnya yang akan menjadi orang ketiga dan siap berbagi denganmu.” Tanyaku dengan nada suara bergetar ketika menyebutkan kata ‘berbagi’ barusan.
Perempuan itu tidak menjawab malah seperti menerawang lewat bola mataku.
that would be a no for me.” Jawabku akhirnya setelah sekian lama kita beradu pandang. Akhirnya lega bisa membuat pencerahan pada perempuan ini, kenalkan dia Sylvia yang walaupun dia tidak mengenalkan dirinya padaku. Aku hendak beranjak dari situ ketika melihat dia hanya menerawang dan mengacuhkanku.
“apakah tidak ada cara lain?”
Aku tercengang mendengarkan pertanyaan itu. Seolah-olah perempuan ini ingin mendapatkan semuanya, seolah-olah dia tidak siap dengan kata-kataku barusan yang seperti maju berperang dan seola-olah dia kehabisan pikir sehingga wajah ke-desperate-annya muncul untuk bertanya padaku. “apakah kamu tahu ada kata e-ye-de dalam tata bahasa kita yang berbunyi PENGORBANAN?” tanyaku pura-pura berpikir sebentar dan langsung meninggalkannya dan kantin itu yang sudah sarat akan pengunjung karena sudah waktunya makan siang.
‘jangan menoleh, jangan menoleh, jangan menoleh.’ Batinku kuat. Aku tidak ingin melihat wajah Sylvia yang seperti baru saja ditampar itu membuatku seakan-akan adalah penyebab dia seperti itu. membuatku seperti orang jahat disitu. Mungkin aku menjadi orang yang tidak peka bahwa suatu hubungan itu tidak butuh cinta, tapi materi. Makan cinta? Tidak mungkin, bukan?
***
“andrea, bisakah kita bicara sebentar?”
Perhatianku teralih dari pembicaraan kelompokku yang seru di kantin siang itu. Kami sedang membahas advanced team yang akan berangkat besok dan apa saja yang akan kami lakukan sampai ditempat tujuan kegiatan bakti kesehatan kami. Tentunya setelah kami mendapatkan beberapa bocoran tempat wisata dan kuliner yang enak disana. Tujuan utama advanced team dibentuk bukan ini pastinya.
“o-oh.” Aku memandang orang yang mengajakku barusan. “aku ijin sebentar ya, aku segera kembali.” Lanjutku setelah melihat orang itu. Teman-teman langsung melanjutkan obrolan mereka dan aku meninggalkan kantin itu.
“ada apa?”
“aku ingin kamu mencobanya.”
Tubuhku menegang mendengar kata-kata itu. “Syl, aku yakin kamu tidak mengenal aku seperti apa, karena aku adalah tipe orang yang akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Dan jika aku sudah memulai sesuatu pasti akan aku selesaikan.” Jawabku seperti ada nyala api dalam mataku kemudian meninggalkan dia.
“aku ingin melepaskannya.” Balasnya membuatku langkahku berhenti. Aku membalikkan badanku menatapnya lekat-lekat. “aku tidak akan mengganggunya lagi.” Lanjutku setelah menerima hujan tatapan apiku.
“baik!” jawabku ketus. “dengan ini aku menganggapnya bahwa antara kamu dan Edgar tidak ada hubungan apapun lagi, jadi aku akan merasa lebih leluasa untuk dekat dengannya!” aku mempercepat langkahku, takut aku menyesal dengan kata-kataku barusan atau malahan Sylvia ingin merubahnya kembali. Aku sudah cukup muak dengan pembicaraan ini.
***

Dengan langkah gontai aku menuju pintu flat­ku hendak membukakan pintu bagi orang gila yang bertamu pagi-pagi di hari minggu. ‘ada ya orang yang tidak menghargai hari libur?’ batinku kesal.
“hei.” Sapanya. “aku bawakan kamu sarapan.” Kemudian langsung masuk tanpa kupersilahkan.
Masih setengah mengantuk, aku mengikutinya ke meja makan kecil. “kemarin aku bertemu Sylvia.” Ucapku setelah terdapat keheningan diantara sarapan mendadak ini.
“aku tahu.”
“aku sudah berkata kasar padanya.”
“memang dia pantas mendapatkannya.”
“apakah kamu benar-benar mau berkorban untuknya?”
“tidak.”
“mungkin aku telah salah menganggapmu, harusnya kamu berjuang untuknya.”
Edgar tertawa sarkastik.
“menurutmu apakah dia juga demikian?”
“aku juga perempuan Edgar! Aku tahu bagaimana perasaannya sekarang. Aku tidak ingin menjadi bagian kekecewaannya. Mungkin saat ini kamu dapat berkata bahwa dia memang pantas mendapatkannya, but I expected it wont be that too long, because you love her.
Edgar menatapku tampak putus asa. Pancaran cahaya dari matanya seperti yang kulihat sebelumnya, milik Sylvia.
“Maafkan aku Ndre, mungkin ini bukan jawaban yang kamu inginkan dariku. Maafkan aku tidak bisa menjaga perasaanmu.” Katanya setelah beberapa saat menatapku putus asa. Kemudian ia berjalan ke arahku dan memandangku lekat-lekat, “tapi disatu sisi aku ingin sekali menjagamu, kamu sudah seperti teman lamaku dan kamu juga sudah seperti adikku sendiri.” Edgar terdengar canggung menyebut diriku sebagai adiknya. “aku memang tidak punya adik, tapi tumbuh bersama Tyar dan Lily membuatku tahu bagaimana cara seorang kakak untuk menjaga adik-adiknya.”
“Thanks.” Jawabku singkat sambil tersenyum.
“maaf selama ini aku begitu egois. Aku akan menjelaskan semuanya pada oma. Dan semoga oma memaafkan kita berdua.”
Aku terdiam tidak tahu harus berkata apa-apa. “kamu tidak perlu menjelaskan apapun pada oma, kita masih bisa meneruskan peran kita masing-masing. Aku hanya ingin kamu jangan berpura-pura lagi dihadapanku terhadap Sylvia, aku muak melihatnya. Seakan-akan akulah penghancur hubungan kalian.”
Edgar tertawa getir. “apakah kau yakin?”
Aku mengangguk. “dan aku ingin kamu berjanji satu hal untukku.”
Edgar menatapku tepat dikedua bola mataku seakan menyuruhku untuk jangan berhenti berbicara.
“tetaplah seperti itu. Menjadi teman lamamu. Menjadi adik angkatmu. Berjanjilah untuk tidak memberikan suatu perasaan, apapun itu, kepadaku. Karena setiap perempuan akan mempunyai perasaan kepada seseorang yang dekat dengannya walaupun sedikit, tapi kini aku akan menganggapmu sebagai kakakku, dan kamu akan menganggapku sebagai adikmu. Ingatlah bahwa kamu pernah mencintai Sylvia sampai kamu ingin mengorbankan segala-galanya untuk dia hari ini. Ingatlah bahwa kita berdua adalah kakak-adik, saudara sedarah, mulai hari ini.” Ucapku panjang, tatapanku rasanya kosong, dan perasaanku? Tidak usah ditanya, tidak ada yang aku rasakan, rasanya seperti baal.
“kamu adik terbaikku.” Balasnya sambil memberiku ciuman dikepalaku. “kamu juga harus mulai membiasakan kalau aku menciummu seperti ini.” Lanjutnya menatap mataku. Aku tidak tahu bagaimana tampangku saat ini, aku mudah tersipu dan menjadi merah, blushing. “orang-orang akan bingung jika kita tidak bertingkah laku seperti pasangan pada umumnya. Aku akan lebih sering menggenggam tanganmu, memelukmu, dan bahkan menciummu didepan umum.” Lanjutnya. “ha, ha, ha, tenang saja, aku hanya akan menciummu dikepala dan tidak lebih dari itu.” lanjutnya lagi melihat reaksiku ketika mendengar kata ciuman.
well, I guess that’s fair enough.”
“Baiklah, aku akan mengantarmu skarang ke tempat vina.”
“oh ok.” Jawabku karena aku sendiri pun lupa bahwa aku harus pergi ke tempat vina, dan bahwa kami akan ujian lusa nanti. “bagaimana pernikahan kak As?” tanyaku sambil mengikuti langkahnya keluar flat-ku
Edgar menatapku kebingungan. “apakah kau benar-benar bodoh atau benar-benar tidak tahu apa yang terjadi?”
“apa?” balasku kesal disebut bodoh.
“pernikahan kak As ditunda sampai bulan depan gara-gara kamu tidak bisa hadir.”
“WHAT?????” pekikku. “apakaha kau bercanda?”
“apakah aku terlihat seperti sedang bercanda?”
“tidak.. tapi… maksudku..” aku tidak tahu harus berkata apalagi.
“pernikahan kak As ditunda sampai tanggal 22 Desember nanti, aku harap kau mengosongkan harimu itu untuknya karena acaranya akan sangat merepotkan. Aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya.”
“tunggu dulu..” bantahku. “apakah yang kau bilang barusan itu.. ehm.. pernikahannya.. ehm.. ditunda karena aku?”
“tentu saja, kak As sangat mengkhawatirkanmu. Ditambah dia sangat kecewa karena aku tidak bisa menjagamu, dia tahu kalau kita sempat lost contact sekitar 1 minggu ini. Dia khawatir teman-teman Dave akan mendatangimu lagi, makanya dia menyewa seseorang untuk menjagamu dari jauh.”
“hah?” aku hanya bisa melongo didepan Edgar saat ini. Tidak tahu apa yang harus dikatakan, semuanya terlalu banyak, aku merasa tidak bisa mencernanya.
“sampaikan permintaan maafku untuk kak As.”
“untuk apa?”
“untuk pernikahannya yang tertunda.”
“kak As yang ingin sekali meminta maaf padamu Ndre.” Balasnya sambil memutar stirnya memasuki sebuah apartemen. “dia ingin mengadakan bachelor party lagi mungkin, tapi mungkin itu tidak bisa disebut party lagi, karena ada Oma disana. Apakah kamu masih ingin di mobilku atau turun belajar ke tempat vina?”
Aku mengerjap beberapa kali dan baru menyadari bahwa kami telah sampai di apartemen vina yang tidak begitu jauh dari flat-ku. “thanks!” jawabku kemudian mengambil semua barang-barang dari mobilnya.
don’t mention it.”


Friday, October 17, 2014

5. Bachelor party

Kubuka mataku pelan, menatap seberkas cahaya yang masuk mengintip dibalik balkon flat. Kepalaku terasa sakit, sepertinya posisi tidurku salah. Ku elus tengkuk pelan, memijatnya halus. Kini aku terbaring kesamping diatas sofa berselimutkan bed cover-ku sendiri. Orang yang semalam melihat kesedihan hidupku yang terdalam dan terpuruknya hidupku, kini tidak tertidur ataupun duduk disampingku lagi.
“CKLEK, CKLEK.” Bunyi kunci pintu flat¬-ku terbuka. Aku terdiam ditempatku, perasaan takut tiba-tiba muncul dan bergejolak dipikiranku. ‘ya Tuhan, siapa yang mempunyai kunci flat-ku.’ Batinku bertanya-tanya.
“HAH!” teriakku merasa lega dan sedikit bingung. “bagaimana bisa kamu memiliki kuncinya?”
“kau menjatuhkannya semalam.”
Aku mengangguk pelan, mengingat kejadian semalam saja sudah cukup memalukan bagiku, apalagi harus menatapi orang yang tidak ingin kulihat saat ini.
“aku bawakan bubur ayam, duduklah.”
“aku tidak lapar.”
“duduklah.” Perintahnya halus.
Tak bisa kutolak dengan cara yang lebih halus lagi, kuhampiri dia yang sedang mengeluarkan bungkusan Styrofoam berisikan bubur ayam itu dan duduk dimeja makan kecil yang sering kujadikan juga meja belajar.
“ini.” Katanya sambil memberikan satu bungkusan itu. Dan ia pun duduk disampingku.
“apakah buburnya enak?” tanyanya setelah buburku habis kumakan.
“iya.” Jawabku seadanya.
“aku membelinya dibawah jembatan dekat kampus, disitu buburnya enak menurutku, baguslah kalau kamu juga menyukainya.”
Aku menggangguk pelan sambil meminum segelas susu kacang kedelai yang juga telah dibelinya.
“oh ya, ada apa kamu kemari?”
“oh itu..” katanya seperti tidak ingin membicarakannya. “sepupuku akan menikah hari selasa, jadi hari minggu ini ia membuat bachelor party dan ia ingin kamu bisa hadir.”
“oh..”
“apakah kamu sudah punya acara hari minggu ini?”
“tidak, tapi aku tidak ingin pergi.” Jawabku. Satu hal yang kutahu, jika hal ini menyangkut kehidupan Edgar dan keluarganya, sebisa mungkin aku ingin menjauhinya karena aku sama sekali tidak mengenal siapa dia dan mereka sebenarnya, lagian jika aku hadir, disitu juga pasti ada Tyar dan Kevin.
“kenapa?”
“tidak kenapa-kenapa menurutku.”
“ayolah, kau tidak harus menghindari keluargaku hanya karena ada Kevin disana.”
“apakah kau menanggapi permainanmu ini dengan serius? Karena bagiku, semua ini tidaklah nyata.”
“kenapa begitu takut? Kamu juga belum mencobanya.” Jawabnya tenang sambil meneguk susu kacang keledainya habis.
“kalau kamu mau, ya pergi saja sendiri.”
“minggu, jam 8 malam.” Katanya lagi, kemudian ia berjalan menuju pintu flat.

***
“aku tahu kamu didalam, cepat buka pintunya ndre.” Panggil Edgar dari luar. “kalau kamu tidak keluar, akan kusuruh security membukakan pintu ini dengan alasan percobaan bunuh diri.”
“CKLEK.” Akhirnya pintu itu kubukakan untuknya. “sudah kukatakan bukan, aku tidak mau pergi.”
“aku tidak ingin mendengar apapun alasannya, sekarang kamu ganti baju.” Perintahnya. “ini.” Katanya lagi sambil memberikanku sebuah kotak persegi. Kubuka kotak itu dan kulihat sebuah mini dress berwarna salem bergambar flower. Kutatapi Edgar sepersekian detik dan membuang mukaku dengan kesalnya. Ku ambil baju dari kotak itu dan membawa masuk ke dalam kamarku.
Mini dress tadi kini telah terpasang indah ditubuhku, kutempel tipis bedak dan kubiarkan rambutku tergerai kebelakang. Masa bodoh dengan apa kata orang.
“udah?” Tanya Edgar.”
“terus, kamu mau nunggu siapa lagi?”
“yasudah, kita berangkat sekarang, kita sudah cukup terlambat.”
Ku ambil hape dan kunci flat dan kumasukkan barang-barang penting lainnya dalam clutch.
Edgar menggenggam tangan kiriku semenjak kami berkumpul disini. Douglas Oei, kakak sepupu kesayangan Edgar, menjadi tuan rumah dari bachelor party malam ini, makanya ia tidak mau melewatkan acara ini walaupun akhirnya kami yah sedikit terlambat. Dalam silsilah keluarganya, ia memiliki 3 kakak sepupu, Douglas, Dave dan Daniela, serta 2 adik sepupu, Tyar dan Lily. Keluarga besar sepupu-an ini kini hadir dalam bachelor party ini, karena ini adalah acara pernikahan pertama diantara para sepupu mereka.
“ahh ini dia adik kesayanganku, Edgar, dan ini pasti tunangannya, Indah. Namamu se-indah orangnya.” Kata orang yang diperkenalkan Edgar dengan panggilan kak As.
“selamat ya kak.”
“terima kasih sayang.”
“kalian berdua harus segera menyusul kakak secepatnya, setuju?” tanyanya pada tamu yang berkumpul di meja makan besar itu.
“hey kak, apakah kau melupakan adikmu sendiri? Masih ada aku dan Dave, pastinya kami duluan yang akan menyusul kakak terlebih dahulu.”
“hahaha tentu saja adikku yang cantik, kakak hanya memberikan restu kepada para adik-adik sepupu untuk segera menyusul kakak.”
“hai kak As.” Sapa seseorang dari kejauhan.
“owh, ini dia sepupuku yang cantik lainnya! Dan kamu pasti Kevin.” Sambutnya dengan nada tegas di kalimat terakhir.
“iya ini Kevin, kak.” Jawab tyar cengengesan.
Kevin menatapku yang kini terduduk diam disamping Edgar, tangan kiriku masih digenggam erat olehnya. “silahkan duduk, sayang.” kata kak As.
“baiklah, karena semua sepupu sudah berkumpul dan telah memiliki pasangannya masing-masing, aku ingin kita bermain UNO. Seperti biasa aturannya, yang kalah harus melakukan apa yang dikatakan pemenangnya.” Kak As menjetikkan jarinya, memberi isyarat kepada pelayan restoran itu untuk mengantarkan sesuatu, yaitu kartu UNO dan membawakan kami minuman.
“aku tidak tahu cara mainnya.”
“kita main pasangan tenanglah, ini permainan kesukaan kami sewaktu kecil.”
Kartu mulai dibagikan. Aku berpasangan dengan Edgar dan aku hanya bisa melihat dia mengatur kartu-kartu itu dengan lincahnya. “biasanya aku tidak pernah kalah.” Bisiknya arogan. Ia mengajariku bagaimana cara mainnya, tapi aku tidak bisa berkonsentrasi karena suaranya yang penuh bisikan dan dengan tatapan Kevin yang menatapku dalam. Kak As membuang kartu duluan dan diikuti oleh Dave sesuai dengan putaran arah jarum jam. Seorang pelayan berkeliling di meja bundar kami menuangkan ke gelas berbentuk segitiga tak berujung cairan yang berwarna kecoklatan. ‘oh my alcohol?’ batinku. Pelayan itu sampai ditempatku, aku mencoba menatap matanya ingin menanyakan ini minuman apa, tapi ketika pandangan kami bertemu yang tersirat disana hanyalah ketakutan. Bulir-bulir keringat menetes dekat pelipis matanya dan setahuku ruangan disini full AC. Tangannya gemetaran ketika menuangkan minuman itu. Aku tidak melepaskan pandanganku darinya, ia juga terlihat gemetaran ketika menuangkan minuman digelas yang lain. ‘ada apa sebenarnya?’
“ndre, kamu ingin mereka melakukan apa untukmu?”
“hah? Tanyaku.
“kita menang, jadi kamu ingin mereka melakukan apa untukmu?” Tanya Edgar lagi sambil menunjuk dengan mukanya siapa yang kalah.
“oh..”
“kamu saja, aku tidak tahu harus mengatakan apa.”
Edgar mengangguk mengerti. “jadi aku ingin kalian menyanyikan satu lagu romantis untuk kak As.”
Para sepupu tertawa pelan. “padahal kami mengharapkan sesuatu yang jahat darimu lho, Ed!” terdengar nada kecewa dari Dave.
“not tonight.”
Tyar sibuk mencari lagu dari smartphonenya, sementara mereka berdua berjalan ke arah panggung.
“sayang, aku ingin menyanyikan lagu ini!” tunjuknya excited pada Kevin. ‘sayang?’ batinku geli mendengarnya.
“oke.” Kevin mengambil gitar disitu dan mengatur tali senarnya. “kamu nyanyi duluan, nanti di reff nya kita nyanyi barengan, terus aku yang nyanyi bagian keduanya.” Kevin mengangguk mantap tersenyum pada kelakukan kekasihnya.
Petikan intro senar gitar dimulai. Aku merasa aku sedang menahan napas saat ini.

We were as one babe
For a moment in time
And it seemed everlasting
That you would always be mine

Now you want to be free
So I'm letting you fly
Cause I know in my heart babe
Our love will never die
No!

You'll always be a part of me
I'm a part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling cause you'll always be my baby
And we'll linger on
Time can't erase a feeling this strong
No way you're never gonna shake me
Ooh darling cause you'll always be my baby

I ain't gonna cry no
And I won't beg you to stay
If you're determined to leave girl
I will not stand in your way
But inevitably you'll be back again
Cause ya know in your heart babe
Our love will never end no

You'll always be a part of me
I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling cause you'll always be my baby
And we'll linger on
Time can't erase a feeling this strong
No way you're never gonna shake me
Ooh darling cause you'll always be my baby

Always be my baby

“aku ingin ke toilet sebentar.”
Lagunya sudah selesai, tapi lagu itu masih saja terngiang-ngiang ditelingaku. “ndre, wake up, he’s not yours anymore.” Kataku didepan cermin, mungkin jika cermin ini bisa bicara dia akan menertawakanku sekarang.
Terdengar suara mengerang dari dapur ketika aku hendak kembali kedalam. Aku melewati toilet dan mengintip dari balik kaca yang menutupi pintu dapur itu. Seseorang menatapku ketika aku mengintip ke dalam. “arg..” teriakku tapi mulutku seketika dibekap oleh pria bertubuh kurus. Ada 3 orang yang bertubuh kurus dan 1 orang yang berbadan tegap.
“dia duduk dengan orang yang bernama Edgar.” Kata orang yang mengenakan baju biru terlihat lusuh.
“siapa namamu?” Tanya orang yang bertubuh lebih tegap dari orang yang mengenakan baju biru tadi.
“andrea.” Jawabku terdengar nada suaraku bergetar.
“baiklah andrea, jika kamu tidak ingin terjadi seperti para pelayan disini, kamu harus mengikuti perintahku.” Katanya lagi menunjuk beberapa pelayan dan koki didapur itu babak belur. “kami tidak akan lama, kami hanya ingin mengambil milik kami disini.”
“apa yang kalian inginkan?”
“dia.” Tunjuknya tepat diwajah pria yang sedang meneguk satu gelas panjang berbentuk pipa berisikan minuman itu. Pria itu meminumnya dengan sekali teguk.
“Dave?”
“hah!” dengusnya terdengar sarkastik. “dia itu pecandu! Dan kami tidak akan melepaskannya begitu mudahnya hanya karena dia mengikuti program rehabilitasi? Apa itu? cih! Dasar tidak tahu diuntung! Kamu belum tahu bagaimana busuknya keluarga ini.”
“a-apa maksudmu?”
“apakah kamu betul-betul tidak mengetahui keluarga ini?”
“t-tidak, aku hanya teman Edgar.”
“teman?” tanyanya tidak yakin sambil melihatku tajam. “kamu mau mulai darimana? Edgar? Dia terlalu takut mengungkapkan perasaanya pada nenek. Padahal aku pikir dia akan kawin lari dengan Sylvia. Tapi kudengar dia tunangan dengan orang lain, cih pengecut!
“sudah cukup, aku tidak ingin mendengarkannya lagi, apa sebenarnya yang ingin kalian lakukan, lepaskan aku!”
“jangan banyak tingkah kamu!” ancamnya sambil menyodorkan sebuah pisau didepanku. Aku tak berkutik ketika dia menggenggam pisau itu begitu kuat dan menodongkannya tepat dihadapanku.
“ayo keluar.” Katanya lagi mengalungkan tangannya dileherku dan menodong pisau itu tepat di arteri karotisku. Seketika itu juga aku bercucuran keringat, pakaianku sudah basah dengan keringatku sendiri.
“KYAA.” Pekik Daniella. Semuanya langsung menoleh ke arah tatapan daniella dan beranjak dari bangku mereka.
“R-reno? Mau apa kalian?” nada suara Dave terdengar takut.
“masih ingat juga dengan kami, pengkhianat! Hidupmu tidak akan tenang hanya karena kamu masuk rehabilitasi dan menjebloskan bos ke penjara!”
“siapa mereka Dave?” Tanya kak As.
“teman pecandu aku kak.”
“kamu masih bergaul dengan mereka?”
Dave cepat menggelengkan kepalanya.
“kamu masih ke sekolah?”
“i-iya kak, aku benar-benar sudah tidak candu lagi kak.”
“apakah kalian tahu, kalian telah menghancurkan bachelor party-ku sekarang?” tanya kak As dengan tenang, masih duduk di meja bundarnya. “by the way adikku merasa tidak memiliki teman seperti kalian, jika kalian sentuh adikku dan keluargaku, akan kupastikan hidup kalian tidak akan lebih tenang dari tikus kotor dijalanan.”
“cih sombong sekali! Kau tidak jauh lebih sampah daripada kami, masih ingat insiden Vina waktu itu? kamu juga kan yang menjerumuskan dia ke dunia gelap kami. Jangan sok suci!”
“aku sudah tidak mengingat hal-hal seperti itu, dan merasa tidak pernah mengalaminya. Oh ya bisakah kalian melepaskan tangan kotormu dari adik iparku?” jawabnya begitu tenang, padahal nyawaku berada ditangan pria yang menodongkan pisau ini.
Aku meremas tangan yang menodong pisau itu, berusaha menahan jarak antara pisau dan leherku. “jangan mendekat!” teriak orang itu. Belahan pisau yang dingin itu makin terasa dikulitku. “Kevin..” desahku. Aku menahan napas ketika Kevin makin dekat kearahku. Aku tidak tahu seberapa besar nyali seseorang untuk membunuh, tapi ketika amarah dan benci mencapai batasnya, akal sehat pun tidak berguna ketika diharuskan untuk berpikir.
Bunyi tembakan pun berkumandang seisi ruangan itu. Aku memejamkan mataku seketika, berusaha untuk menahan kesakitan jika aku benar-benar yang kena tembakan. Tapi rangkulan pria dibelakangku perlahan melonggar, ia jatuh tersungkur dibelakangku dan mengerang kesakitan. Aku membalikkan badanku, yang kulihat sebuah luka tembak menembus bahu kanannya. Kevin melewatiku dan memukul pria yang sudah terjatuh tersungkur itu. Aku berlari menuju Edgar yang membukakan dadanya untukku bersandar. Ia menghendakiku duduk agar supaya ia juga bisa ikut pertarungan sengit dihadapannya. Tapi aku menahannya agar ia tetap bersamaku.
“jangan pergi..”
Tyar sibuk menelepon panggilan darurat saat ini, dan masih tidak bisa melepaskan pandangannya sedikit pun dari perkelahian yang dilakukan kekasihnya. Aku menangis menahan perasaanku, ‘apa yang sudah kulakukan? Kehidupan macam apa yang sedang kujalani sekarang?’
***

“oh ya ndre, jangan lupa belikan aku nasi babinya ya! Kamu mau ga cynt?” Tanya novi.
“iya boleh deh, aku juga mau.”
“yang lain gimana?”
“ngga, aku mau pesan nasi goreng ‘restu’.”
“OK. DAHHH.” Aku naik bus yang berhenti didepanku dan melambaikan tangan sampai tubuh mereka menjadi kecil-kecil karena jarak kami yang begitu jauh. Aku menatap kekosongan dihadapanku seakan-akan hidupku ini tidak begitu berarti.
“CRENG CRENG.” Bunyi koin-koin yang diobok-obok dalam genggaman.
“oh, ini.” Kataku terbangun dari lamunanku sambil memberikan ongkos bus ini pada penjaganya.
Busku berhenti tepat diujung jalan flatku. Disekitar sini ada tempat makan nasi babi kecap yang enak. Penjualnya seorang tante-tante bermata sipit. Novi dan Cynthia sering memesannya padaku jika kami berangkat ke kampus agak siangan atau ketika kami mau nginep bareng.
“Cik pesan 3 bungkus ya, duanya pake telur dadar, satunya lagi ga usah.”
“iya.”
Dan nasi babi kecapnya sudah terbungkus rapi dalam kantong plastic ini. Aku tinggal pulang dan packing barang-barang seperlunya saja. Hari ini kami berlima akan nginap ditempat Vina untuk belajar ujian skills lab yang akan dilaksanakan besok lusa. Ini tradisi lama kami, setiap akan ujian skills lab kami akan nginap bareng untuk belajar bersama.
“iya sebentar lagi, aku baru mau turun.” Jawabku pada orang yang meneleponku. Aku terkejut dengan orang yang berada dihadapanku saat ini. Nyaris nasi yang kupegang dengan tangan kiri jatuh.
“kamu mau kemana?”
“bukan urusanmu.”
“ndre… sampai kapan kamu mau menghindariku?”
“aku tidak menghindarimu, setahuku aku tidak pernah mengenalimu dan aku merasa tidak perlu untuk berada didekatmu.” Jawabku meninggalkan dia dibelakangku dan entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa perih seperti pisau dingin itu menggoresnya.
“ndre, bisakah kamu berikan aku kesempatan menjelaskan semuanya?”
“menjelaskan apa?” tanyaku lirih. “Duniamu jelas-jelas jauh berbeda denganku. Bisakah kita mengakhirinya, aku tidak sanggup jika harus berada didekatmu.”
“setidaknya biarkan kali ini aku menjelaskan padamu.” Pintanya. Aku menatapnya putus asa. Semenjak insiden bachelor party itu, aku sangat ketakutan jika bertemu dengan Edgar. Sepertinya jika bertemu dengannya itu adalah malapateka besar untukku.
“aku harus pergi ke apartmen vina.”
“aku akan mengantarmu."

Saturday, June 07, 2014

4. Charity Anwar.

“ndre bisakah kamu menggantikan kak Stefan di acara Charity Anwar?”
“oh itu kan acara penggalangan yang akan dibawakan Kak Stefan, kak Stefan-nya kenapa?”
“dia tiba-tiba tidak bisa bermain hari itu, katanya sih dia tidak diijinkan orang tuanya lagi keluyuran.”
Aku tertawa pelan. “masa sih? Kalau benar begitu sayang sekali, itu acara yang sangat ditunggu-tunggu olehnya ya.”
“begitulah, tapi kak Stefan sudah setahun ketinggalan kuliahnya, gimana orang tua bisa tenang coba.” Balasnya. “jadi apakah kau bersedia menggantikan posisi kak Stefan?”
“tentu, tentu saja.” Sahutku senang. Senang diatas penderitaan orang lain tepatnya.
“apakah kamu punya gaun malam?” tanyanya.
“ah tidak, satu pun aku tidak punya.”
“cih andrea, sudah 2 tahun tinggal di Jakarta tapi kamu tidak memiliki satupun gaun malam, dasar udik!”
“HAHAHA. Kalau aku tidak punya, aku kan bisa pinjam punyamu.”
“hari jumat nanti jangan lupa kerumahku nanti kita bisa lihat mana yang cocok untukmu.”
“thank you so much, Evelyn.”
***

“Eve, aku sungguh gugup sekali.”
“ndre, kamu tahu kenapa aku memilihmu? Karena kamu yang paling berani diantara anak-anak dramus lainnya, jadi aku tidak ingin menghancurkan malam ini hanya karena tiba-tiba kamu berubah menjadi coward disini.”
“iya Eve, aku tahu, tapi ini kali pertamaku berada diacara seperti ini.”
“yasudah kamu harus bayangkan acara ini seperti acara dramus yang sering kita lakukan, OK? Kita sudah mensikronisasikan nada dan ritme kita sejak latihan, kamu bisa kan?”
Aku mengangguk mantap, tapi mataku masih tetap was-was. Ini adalah acara perdanaku sebagai pianis dalam kegiatan penggalangan dana yang diadakan oleh sebuah Rumah Sakit Central Nagara. Acara ini sudah dibidik jauh-jauh hari oleh kak Stefan, senior pianis di dramus. Menurutnya, sebagai seorang pianis ga afdol kalau belum mengikuti acara ini, sekalian juga ini menjadi acara perdana penggalangan dana kita kelak jika kita menjadi pianis terkenal.
Charity Anwar telah digelar semenjak tahun 2010, setahun setelah Rumah Sakit Central Nagara resmi dibuka dan Charity Anwar menjadi program tahunan mereka. Tahun ini mereka mengambil syair tentang persahabatan. Persahabatan yang merangkul siapa saja yang kita kenal sejak kita kecil, yang kita cintai dan kasihi, yang berubah menjadi kebencian dan amarah dan yang telah pergi meninggalkan kita selama-lamanya. Aku dan Evelyn mendapat bagian terpenting dalam acara ini, kami akan membawakan syair karangan Chairil Anwar yang berjudul ‘Kepada Kawan’. Sesuai dengan tradisi acara ini, syair akan kami bawakan dalam bentuk sebuah nyanyian lagu tapi masih memiliki nada syairnya. Evelyn dan kak Stefan juga beberapa composer Charity Anwar telah meng-arrangement menjadi suatu kompilasi yang unik pada syair ini. Dengan kerja sama serta kerja keras mereka, mereka berhasil membentuk syair menjadi suatu nyanyian yang siap dipersembahkan malam ini. Sayang sekali kak Stefan tidak bisa membawakannya secara langsung.
Acara itu diawali dengan kata-kata sambutan dari direktur utama Rumah Sakit Central Nagara, Sutrisno Hasan, kemudian disusul oleh ketua panitia acara ini dan ramah tamah. Selanjutnya kami berdua akan segera naik ke atas panggung untuk mempersembahkan nyanyian syair yang menjadi hidangan utama acara malam ini.
“siap ndre?”Aku mengangguk mantap menatap kedua bola mata coklat karena contact lens itu. Kami berdua pun melangkah mantap menaiki panggung, aku menuju kursi piano dan Evelyn menuju tempat mic nya berdiri.

Kepada Kawan 
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu

Bait terakhir syair dinyanyikan panjang oleh Eve, hingga membuat bulu kudukku berdiri. Setelah suaranya hilang diujung mic, tepuk tangan menghujani seisi ballroom itu. Aku berdiri disamping Eve dan sama-sama kami berdua menunduk sebagai tanda ucapan terima kasih kami. Selanjutnya aku kembali ke kursi piano itu membawakan beberapa karangan Schubert, Liszt, dan beberapa composers terkenal.
“hey.” Sapa seseorang yang mendekatiku diatas panggung.
“oh hai.” Kuangkat kepalaku dari tumpukan tuts piano melihat siapa yang menyapaku. ‘kevin?’ batinku. Tanganku masih menari indah diatas tuts .
“lagu kalian sangat bagus, semua orang terkesima dengan lagu kalian.”
“oh itu bukan lagu, itu syair yang dibawakannya.”
“oh hahaha terdengar seperti lagu menurutku. Kamu masih ingin memainkannya?” tanyanya sambil memperhatikan jemariku yang tidak ingin lepas dari situ.
“kau ingin menggantikanku?”
“aku ingin main double.”
“ah silahkan.”
Aku menyelesaikan lagu yang kumainkan kemudian aku sedikit bergeser dari tempat dudukku mempersilahkan Kevin duduk disampingku berhimpitan.
“bagaimana kalau La Campanella?”
“bukankah hanya itu yang kau tahu?”
Kevin tertawa kecil menahan geli bahwa ia hanya mengetahui satu karangan dari ratusan karangan composer terkenal. Ia mulai memainkan jemarinya diatas tuts pelan, mengisyaratkan aku harus segera ikut bermain untuk menutupi bagian cepat dari lagu ini. Kevin tidak bisa memainkan piano dalam tempo yang cepat walaupun lagu yang ia pilih memiliki tempo demikian.
“dengan siapa kesini?”
“dengan Eve.” Jawabku. Sesekali ku menatap wajah Kevin yang begitu tenang memainkan lagu ini.
“oh ya?”
“kamu?”
“dengan Tyar, tante Anna merupakan ketua panitia acara ini.”
“oo.” Jawabku datar.
“tante Anna itu mamanya Tyar.”
Aku mengangguk, berpura-pura berkonsentrasi dengan jemariku, padahal aku bisa memainkan lagu ini dengan mata tertutup sekalipun.
“apakah kau sudah berpacaran dengannya?” tanyaku setelah kami diam beberapa saat.
“iya.”
“berapa lama?”
“4 bulan.”
“apakah kamu sama sekali tidak pernah memikirkan untuk kembali bersamaku?”
“Indah..”
“maaf, tapi aku hanya penasaran.”
“ind, kita sudah pernah sepakat untuk tidak pernah mengulangi pembicaraan ini. Aku tetap masih menyayangimu bukan?
Aku mengangkat bahuku. “hanya jawab saja.”
“pernah. Sekali. Dan aku putuskan untuk tidak memikirkannya kembali, aku harus terus maju.” ‘Ya aku tahu jika kamu tetap bersamaku hidupmu akan terus berjalan ditempat, tidak maju sedikit pun. Aku tahu jika kamu masih bersamaku saat ini, hidupmu tidak akan sebahagia ini, jika kamu masih bersamaku mungkin kamu akan tersiksa lebih dalam lagi.’ Batinku perih. Lagu yang kami bawakan telah selesai, kami berdua berdiam diri diatas kursi itu tak bergeming sedikit pun.
“aku tetap menyayangimu.” Katanya lagi sambil mengecup ujung kepalaku dan beranjak berdiri dari situ.
“aku tahu, aku juga. Semoga kamu bahagia bersamanya.”
“kamu juga.”
Kevin meninggalkanku diatas panggung, aku melihat dia menuruni tangga itu hingga ia membaur ditengah kerumunan orang yang hadir diacara itu. Selanjutnya aku tidak memperdulikan pengumuman hasil penggalangan dana yang telah terkumpul maupun acara penutup lainnya. Pikiranku serasa melayang entah kemana.
“ndre, kamu kenapa? Apakah kamu tidak enak badan?”
“o-oh tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya sangat senang bisa berada diacara ini sampai-sampai aku tidak bisa berkata-kata.”
“benarkah? Aku juga! Tadi aku bertemu dengan dua orang pemilik label produksi rekaman, ndre. Harusnya kamu juga tadi ikut denganku.”
“oh ya? Sayang sekali, tapi aku hanya bisa memainkan piano, aku tidak bisa bernyanyi sebagus dirimu.”
“kamu pasti bisalah. Nanti jika kamu tertarik akan aku kenalkan kamu dengan mereka.”
“ah tidak usah, aku tidak tertarik dengan dunia tarik suara, di dramus saja kerjanya sudah susah minta ampun apalagi di begituan.”
Eve terkekeh pelan. “iya deh yang sibuk, aku juga ngerti kok. tapi aku ingin mencobanya, doakan aku ya!”
“pasti.” Jawabku sambil tersenyum girang. “oh ya terima kasih ya untuk gaun dan tumpangannya, gaunnya akan kukembalikan secepatnya.” Jawabku sambil menutup pintu mobilnya.
“santai aja, nanti pas latihan dramus aja.”
“ok, hati-hati nyetirnya.” Mobil itu pun menghilang dibelokan ujung jalan ini, aku pun masuk ke dalam lobby flat-ku. Sambil menunggu lift, tiba-tiba aku merasakan bulir-bulir air mata menghalangi pandanganku. Aku mengusapnya hingga bulir itu jatuh membasahi pipiku. Setiap kuusap bulir itu terus muncul lagi dimataku hingga akhirnya aku berhenti mengusapnya dan membiarkannya terus jatuh dipipiku. Aku merogoh clutch, mencari kunci flat-ku. Aku berjalan tertatih-tatih karena gaunnya yang panjang, dan ketika tiba didepan pintu aku melihat gambaran seseorang telah berdiri bersandar disamping pintu. Kami berdua saling bertatapan sepersekian detik sampai kusadari kuncinya telah berada ditanganku. Aku mengusap tangisanku tidak peduli seberapa berantakan diriku saat ini, mencoba untuk tetap berdiri kokoh didepan orang ini. Kucoba membuka pintu, memasukkan sembarang kunci hingga kunci itu jatuh. Orang yang bersandar itu membantu mengambilkan kunci itu dan mencarikan kunci flat yang bergelantungan diatas tumpukkan kunci lainnya. Dan ia berhasil membuka pintu itu dengan 2 putaran. Aku masuk mendahuluinya dan membiarkannya mengunci pintu. Kubanting pintu kamarku sekuat tenaga dan menangis dengan keras didalam. Orang tadi terduduk lemas tidak berbicara sedikitpun di luar. Ia menyalakan tv dan menekan remote mencari siaran yang menurutnya enak ditonton saat ini. Tapi semuanya sama saja, ia pun menghentikan pencariannya disiaran tv berita malam itu, menontonnya hingga tertidur.
Kutatap diriku saat ini didepan cermin, kunyalakan air di wastafel dan kubasuh wajahku. Mascara yang tadi luntur dan kering dipipiku kini basah dan perlahan-lahan menghilang setiap kali kubasuh dan kuusap wajahku. ‘Aku baik-baik saja, aku akan baik-baik saja.’ Ucapku dalam hati. Aku mengganti gaun malamku dengan piyama yang sering kugunakan, kuperiksa gaun itu takut-takut tangisanku tadi mengotori gaunnya. Ku gantungkan gaun itu di sebuah hanger dan kuletakkan di atas tempat tidurku. Kubuka pintu kamarku dan kulihat dia tertidur pulas di couch, kedua kakinya diluruskan kedepan diatas meja, tv masih menyala sedang menontonnya tidur. Kududuk perlahan disampingnya tidak ingin membangunkannya, tapi berharap dia terbangun sendiri. Tapi ia tak kunjung bangun, ku ambil remote dan ku utak atik channel yang eye catching dimataku saat ini. Dan aku pun tetap kembali ke channel awal sebelumnya, channel berita malam saat itu yang kebetulan sedang dibawakan oleh newscaster favoritku, Jeremy Teti.




Saturday, April 19, 2014

3. That feeling exist but not for him.

“bisakah kau berhenti menginjak kakiku lagi? Sepatuku akan rusak!” desisnya ditelingaku.
“sudah kubilang aku tidak bisa berdansa, bodoh, jangan salahkan aku.”
“tidak bisa berdansa, huh?” katanya mengulang kembali perkataanku. “sepertinya tadi aku melihat kau berdansa seperti putri-putri bangsawan. Apakah kau sengaja ingin mempermalukanku?”
“AWW!!!” teriak Edgar kesakitan, spontan mata beberapa orang yang ikut berdansa melirik kearah kami dan tertawa pelan. Aku menginjak kakinya saking kesalnya dengan ocehan yang dikeluarkan olehnya. “berhentilah mengoceh, aku juga menginjak kaki Kevin tadi beberapa kali.”
“huh beberapa kali.” Desisnya lagi.
“kamu kenapa sayang? Kok daritadi murung mulu?”
Kevin menengok ke arah suara itu, mengganti pemandangan didepan matanya yang berdiri banyak orang bergerak kesana kemari, salah satu dari mereka adalah Edgar dan Andrea. Ia menatap Tyar dalam kemudian menanyakan pertanyaan yang sungguh menyentuh perasaan perempuan disampingnya itu, “Tyar, apakah kau sungguh-sungguh mencintaiku?”
“apa yang kau bicarakan? Tentu saja iya, aku juga siap seperti Indah jika kita akan bertunangan malam ini juga.” Tyar memeluk Kevin memberikan suatu jawaban pasti bagi hati Kevin yang gundah, menentramkan hatinya yang gelisah.
Kevin serasanya hancur berkeping-keping mendengar kata-kata Tyar. Entahlah, tapi dia juga menyayangi tyar sama seperti dia menyayangi indah. Sayangnya untuk tyar, akan sedikit berbeda dengan sayangnya untuk indah. Indah hanyalah masa lalu dan tyar adalah masa depannya.
***

“kemana saja kau selama ini, kenapa baru pulang?” Tanya Edgar terlihat jengkel menunggu depan flat.
“apakah kau tidak lihat, aku masih menggunakan baju yang sama daritadi pagi?”
“tapi kenapa aku ke kelasmu kau tidak ada?”
“kapan?” tanyaku asal sambil mencari kunci dan membuka pintu flat itu.
“jam 12 tadi.”
“entahlah, mungkin aku sedang ke toilet.”
“tidak, aku menunggu sampai kelas masuk, dan kamu tidak ada didalamnya.” Jawabnya dengan nada datar. “apakah kau berbohong?”
“untuk apa aku berbohong.” Desisku tajam. “lagian untuk apa kau menanyakan hal-hal seperti ini, toh sekarang aku pulang.” Ucapku kasar. Aku sudah begitu capek hari ini dan aku tidak ingin diinterogasi macam-macam oleh dia.
Hari ini, aku bolos kuliah jam akhir, ketika istirahat aku flashback kehidupanku yang dulu, ketika semuanya belum ruwet seperti ini. Aku pergi ke kota tua lagi berusaha mencari suatu jawaban pasti, entah itu apa. Aku hanya butuh jawaban, tidak lebih. Kenapa begitu susah untuk mendapatkannya. Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Pertama, Kevin meninggalkanku. Yang dimana aku masih terus mencari suatu jawaban pasti dari mulutnya tentang ‘kenapa?’ tapi, mungkin inilah jawabannya, ada seseorang yang sepadan dan cocok dengannya, bukan aku, tapi dia. Ya pacarnya Kevin, sepupunya Edgar. Dunia sungguh tak selebar daun kelor ternyata. Aku harus mengenal dengan orang yang tak begitu ingin kukenal. Tyar wanita yang baik dan lemah lembut, begitu santun dan gemulai. Pembawaannya sempurna. Cantik dan berwawasan luas. Sama seperti Edgar, bijak dalam berkata-kata, kadang aku merasa risih bila aku membayangkan aku berdiri disebelah kiri dan tyar disebelah kanannya Kevin. Karena tyar lebih cocok. Aku sedih dan kecewa. Karena aku tak bisa menjadi seperti apa yang Kevin harapkan. Aku sungguh merasa sangat berdosa karena sempat berharap Kevin akan merebutku kembali sementara tyar yang tidak tahu apa-apa akan dilukai karena keegoisan diriku sendiri. Tyar terluka? Lebih baik aku, aku tak bisa membayangkan orang seperti tyar terluka.
Kedua, Edgar yang menurutku hidupnya begitu sempurna, ternyata kehidupannya begitu diatur oleh sang Oma. Pesta kemarin yang menjadikanku Cinderella, ternyata adalah pesta yang akan mengumumkan bahwa Edgar akan menjadi pewaris tunggal Oei Group sekaligus melaksanakan prosesi pertunangan yang sempat dirahasiakan sampai ia membawa seseorang untuk dijadikan tunangannya hari itu. Orang tua Edgar meninggal ketika dia berusia 8 tahun dalam kecelakaan lalu lintas di Barcelona. Edgar selamat, tapi kedua orang tuanya tidak. Luka yang bisa kau lihat adalah sebuah luka baret cukup panjang ditemporal kepalanya. Luka itu ternyata membawa sebuah trend mode sendiri baginya. Seperti potongan garis rambut yang dibuat dengan sengaja, tapi ternyata tidak. Kau hanya bisa melihat mungkin itu disengaja, tapi tak bisa kau rasakan bagaimana luka itu sendiri tertoreh cantik dikepalanya dan juga hatinya. Sampai saat ini aku terus berdoa, mengucap syukur karena mamah dan papahku masih tetap utuh walaupun dalam keadaan terpisah. Aku juga berdoa agar orang tua Edgar yang berada dijauh sana, memaafkan kebodohanku mengikuti permainan anaknya ini.
Aku selalu lari dari Edgar akhir-akhir ini, aku berusaha untuk ditemukan oleh pangeranku. Tapi pada akhirnya aku tetap pulang kepada Edgar dan dialah yang menemukanku. Dimana sebenarnya dirimu berada wahai pangeranku?
Ketiga, kuliahku disemester ini begitu kacau. Blok-blok yang harus kulewati sungguh sangat menyusahkan! Mulai dari system musculoskeletal, kardiovaskuler dan respirasi. Begitu padat jadwalnya dan ujiannya jangan ditanya lagi. Tiap kuliah pasti aku tidur, dan ada beberapa kali aku bolos kuliah saking ruwetnya semua hal ini dikepalaku. Aku butuh tidur tapi ketika aku berada diatas ranjang, aku jadi tak bisa tidur. Drama musical tinggal sebentar lagi, dan aku merasa tidak yakin akan menjadi pengiring acara itu. Teman-temanku begitu menyukai Edgar setelah aku mengenalkannya pada mereka, sebagai teman tentunya, tapi kenapa aku sama sekali tidak? Mereka belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku tak bisa membayangkan jika harus menceritakan hal ini pada mereka. Mungkin aku akan menjadi satu-satunya anak FK yang telah bertunangan! Aku meminta hal yang sama pada Edgar dan tyar untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun. Tapi entah bagaimana Kevin dan orang-orang yang hadir pada saat pesta pertunangan. Cobalah kau membuang bulu-bulu ayam dari atas balkonmu. Dan cobalah untuk mengumpulkannya kembali, akankah semuanya terkumpul?
“aku ingin minta kunci duplikat flat-mu ini.”
Mataku membelalak dengan mulut kembung penuh dengan air.
“ya, kunci duplikat, flatmu.” Katanya menjelaskan lagi dan aku meneguk air yang terisi penuh dimulutku.
“oh apakah sekarang aku tidak memiliki ruanganku sendiri?” balasku sarkastik.
“aku bosan harus menunggumu berjam-jam diluar tanpa tahu kamu dimana!”
“yasudah, jangan datang kesini!”
“andrea!” panggilnya sementara aku berjalan dengan kesal menuju kamarku. “kenapa kau membuat segala sesuatunya begitu sulit?”
“aku? Membuatnya sulit?” tanyaku kembali dengan tawa sarkastik, kubanting pintu kamarku.
“besok aku jemput kamu, kita sama-sama ke kampus.” Ujarnya. Sepersekian detik tidak ada jawaban dariku, dia berteriak memanggilku, “andrea?”
“IYA!” teriakku dari kamar.
***

“apakah kau pacaran dengan Edgar, ndre?” Tanya areytha penasaran dalam bisikannya.
“hah, siapa bilang?” tanyaku terkejut. Dosen menoleh kearah kami, aku diam menunjukkan wajah tak tahu apa-apa.
“beberapa kali aku mendapati dirimu keluar dari mobilnya diparkiran. Ayo cerita, bagaimana kau bisa jadian dengannya!” bisik areytha lagi.
“apakah dia menjadi penyebab putusnya kau dengan Kevin?” Tanya Novi.
“a-apa? Tentu saja tidak, Kevin yang ingin putus denganku. Aku tidak tahu harus menyebut apa hubunganku dengannya.”
“PACARAN!” satu kata yang sama keluar dari dua mulut yang berbeda. Kelas dipagi itu terasa cerita dongeng bagiku yang dibubuhi sedikit kenyataan lewat ocehan kedua temanku itu. ‘sampai kapan aku harus berpura-pura?’ batinku gelisah. Sekilas balik aku terbayang kata-kataku sore kemarin pada Edgar, ‘apakah aku terlalu kasar padanya?’ batinku makin gelisah.
Seingatku, tadi pagi Edgar bilang dia ada kelas basket sore ini, jadi mungkin aku akan menghampirinya dilapangan kemudian meminta maaf.
“hey ndrea! Long time no see you, how are you!”
“hey cipt! Hahaha begitulah, masih sehat-sehat aja, kau? Kokoku mana?”
“sehat juga, mungkin sebentar lagi. Pemanasan dulu sana, kau sudah sangat lama sekali tidak bermain.”
“aku tidak bermain hari ini cipt, aku lagi nunggu temen.”
“wah siapa tuh?”
“tuh yang lagi main basket nomor punggung 07.”
“bukan Kevin?”
Aku cuman terkekeh pelan ketika ditanya seperti itu. “baiklah selamat menonton ya, aku main dulu.”
“oke.”
“hey, kenapa Cuma menonton saja?”
Aku menoleh mencari pemilik suara itu. Aku melongo mendapati siapa pemiliknya.
“kenapa kau bisa ada disini?” tanyaku konyol. Pertanyaan yang sebenarnya bisa kujawab sendiri.
“harusnya aku yang bertanya demikian, aku masih tetap aktif Judo. Bukannya kamu sudah berhenti badminton?”
“haha iya.”
“sedang menunggu siapa?”
“Edgar.” Jawabku sungkan mengingat pertemuan terakhir mereka sungguh tidak mengenakkan.
“baiklah, selama kamu menunggu bolehkan aku menemanimu?” tanyanya setelah melihat kearah lapangan basket dibawah. “ya tentu saja.”
Kami banyak bercengkerama hal-hal kecil. Hal-hal yang menurutku biasanya diceritakan padaku dan membuatku terhanyut dalam kisahnya, seperti dosen pembimbingnya yang menyebalkan setiap kali ia akan memasukkan judul proposalnya dosennya selalu hilang entah kemana, juniornya yang tidak bisa menentukan bangunan apa yang akan ia gambar, bahkan anak didiknya di judo yang kemarin hampir saja mematahkan selangkangannya. Aku ingin bercerita banyak hal, tapi aku membiarkan dia bercerita semaunya. Aku hanya duduk disampingnya dan mendengarkan ceritanya dan gaya bicaranya yang selalu membuatku berdebar-debar. ‘apakah aku masih mencintainya?’ tanyaku lirih.
Ekor mataku menatap pertandingan jauh disana yang makin memanas, “oh sh*t” pekikku ketika melihat kepala Edgar terhantam bola basket entah dari mana asalnya yang kontan membuatnya menatap orang yang melempar bola itu dengan ganasnya.
“maaf aku harus pergi, aku sangat ingin mendengarkan lanjutan ceritamu, tapi maaf aku harus pergi.” Selaku cepat mengambil ransel yang ada disampingku.
“b-baiklah.” Balasnya bingung melihatku berlari kecil menuruni anak tangga kemudian berlari kearah lapangan basket.
“apakah kamu baik-baik saja?” “apakah kau pusing?” “bagian mana yang sakit?” tanyaku tergesa-gesa. Edgar menatapku seperti ingin menelanku dengan kedua mata bulatnya. Ia masih terduduk menatap kebawah seperti sedang kesakitan.
“ayo kita pulang, aku yang akan menyetir.” Aku mengambil tasnya dan mencari kunci mobilnya. Ia berdiri berjalan meninggalkanku dikursi tangga situ, aku berlari kecil dibelakangnya dan meraih lengan kanannya berusaha untuk memapah walaupun kutahu aku tidak akan cukup kuat untuk memapahnya jika ia beneran jatuh. “aku tidak ingin pulang.” Ucapnya setelah dari tadi tidak berkata sepatah katapun.
“apakah kau merasa pusing? Lebih baik kita ke rumah sakit saja.” Tanyaku sambil membelokkan stir mobil kekiri ke jalan raya.
“tidak, aku ingin kerumahmu.”
“b-baiklah.”
***
“coba sini aku lihat kepalamu.” Kataku ketika kami sudah sampai di flat-ku. Aku mengajaknya duduk di sofa ruang tamu, dengan teliti ku telaah setiap sudut hantaman bola yang memukul kepalanya itu.
“sudahlah, aku tidak apa-apa.” Katanya sambil memegang tanganku menghentikan gerakan tanganku yang terus mengusap kepalanya tidak jelas.
“apakah kau yakin?”
Dia mengangguk kecil padaku dan tersenyum.
“by the way, ada yang ingin kusampaikan.” Ujarku pelan. “aku ingin meminta maaf atas kata-kataku kemarin. Kamu harus mengerti bagaimana perasaanku, kamu pria dan aku wanita, tidak mungkin kalau aku memberikan kunci flat-ku ini padamu. Aku tahu kalau kita sudah bertunangan, dan aku juga ingin cepat mengakhirinya.”
“sudahlah, aku tidak ingin membahas soal itu.” Balasnya. “aku sedang bertengkar dengan Sylvia karena pertunangan kita.” Edgar pernah menceritakan siapa nama “Syl” yang aku dengarkan di toilet waktu pesta pertunangan. Sylvia adalah pacarnya yang diketahui oma adalah putri salah satu pemegang saham di perusahaan Oma, Hendra Pratama. Hendra merupakan kerabat terdekat keluarga Kurniadjaja, ibunda Edgar, yang pada saat itu selalu ‘ikut campur’ mewakili Ratna dalam setiap rapat-rapat penting pemegang saham. Ia pernah dicurigai sebagai dalang kecelakaan yang menimpa orang tua Edgar, Satria Oei dan Ratna Kurniadjaja, karena menurut pertimbangan oma hendra selalu ingin mengambil alih kepemilikan saham Ratna sampai ia telah memiliki sahamnya sendiri di perusahaan. Tapi ketika diselidiki lebih lanjut Hendra Pratama bersih dari tuduhan itu dan balik menuntut Oma Miranda Oei atas tuduhan pencemaran nama baik. Hubungan antara Oma dan keluarga Pratama tidak berjalan dengan mulus semenjak saat itu walaupun mereka berdiri dalam satu atap perusahaan besar yang sama. Atas dasar itu, hubungan masa kecil antara Edgar dan Sylvia akhirnya harus dikorbankan sampai saat ini. Aku dan Edgar tetap menjalani kehidupan kami masing-masing. Aku dengan kesendirianku dan pengharapan bahwa Kevin akan berubah pikiran untuk kembali lagi denganku dan Edgar yang masih tetap backstreet dengan Sylvia. Singkatnya kami berdua memiliki status palsu dalam pertunangan yang diadakan.
“oh..” jawabku sungkan. Jadi itu alasan perubahaan moodnya yang drastis. Aku terduduk lemas disampingnya bersandar di sofa menahan nafas. Aku sungguh tidak ingin menjadi perusak hubungan orang lain.
“aku tidak menyalahkanmu, memang hubungan kami harusnya sudah berakhir sejak dulu.”
“apakah kau benar-benar mencintainya? Jika kau benar-benar mencintainya harusnya kamu tetap memperjuangkan hubungan kalian berdua, kamu harusnya membuktikan cintamu padanya didepan oma, bukannya membuat status palsu seperti ini.”
Edgar tertawa masam mendengarkan ucapanku, seperti meremehkan perkataanku. “tidak semudah itu, sayang. Baiklah aku akan pergi, kepalaku sudah tidak sakit lagi.”
“baiklah.”







Saturday, April 12, 2014

2. Being a Fake Cinderella was sucks!

Kuliahku semakin padat semester ini ternyata break itu ada gunanya juga. Aku sudah lama tak keliling naik busway, aku ingin mengisi hariku serta merta hatiku yang kosong untuk terisi kembali dengan sesuatu yang hidup lagi dari luar sana. Enam bulan sudah hubunganku berakhir, cinta pertamaku, kekasih pertamaku. Hilang. Entah karena aku yang begitu bodoh, atau tidak tahu bagaimana caranya berpacaran. Entahlah. Kevin adalah cinta pertamaku, dan itu tak ‘kan bisa tergantikan oleh siapapun. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Dan kami terlalu banyak kenangan untuk dipendam mendalam. Banyak hal, cerita, tempat dan suasana yang kerap kali mengingatkanku akan dia. Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Aku makin terpuruk sendiri dengan duniaku, aku berusaha untuk  tenggelam dengan kesibukan kuliahku yang tiap semesternya lebih menyusahkan dibandingkan semester awal. Ya, kuliah kedokteran tidaklah mudah. Organisasi yang kupegang juga menuntutku untuk bekerja lebih keras lagi. Dan acara kegiatan ekstrakulikuler yang kuambil, drama musical, akan segera dilaksanakan bulan depan. Artinya setiap hari aku harus latihan bersama anak-anak dramus non-stop. Tapi tetap saja, perasaan kosong tiba-tiba selalu terbersit dikala waktuku lenggang. Tak jarang pula kepalaku sering dihantui satu pertanyaan, “apakah semuanya harus begini?” pertanyaan itu yang selalu kuulang terus menerus dalam hati. Tak pernah ada suatu jawaban pasti, yang dipertanyakan juga hanya memberikan suatu jawaban yang menurutku menggantung.

Ku menyusuri koridor busway yang begitu panjang hingga sebuah busway mendapatiku tepat setelah aku sampai dihaltenya. Ku lirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 4 sore. Aku lapar, mungkin aku akan makan junk food saja. Sembari memikirkan restoran junk food yang akan kudatangi aku memilah-milah rute busway yang akan kutempuh. Akhirnya aku memilih daerah Sarinah, mungkin BK disana saja. Perjalanan dari harmoni ke Sarinah tidaklah lama, hanya 30 menit. Dan aku bisa menikmati junk food disini. Aku masih belum ingin pulang, ku putuskan untuk jalan-jalan sebentar ke PI.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku bertemu dengan Kevin. Hendak ku sapa dia, tapi langkahku terhenti melihat sesosok perempuan setinggiku bersanding dengannya. Perempuan itu halus, bak seorang model, cantik dan kelihatan smart. Kevin punya saudara perempuan, Kynar, dan aku mengenalnya. Dan perempuan yang didepan mataku sekarang bukanlah Kynar. ‘apakah itu pacarnya?’ tanyaku lirih, kecewa. Aku berpikir aku bisa kembali dengan Kevin suatu saat nanti, tapi ternyata tidak. Aku pernah menanyakan apakah hubungan kami bisa kembali seperti dulu, tapi sepertinya Kevin tidak ingin membahas hal itu lebih dalam lagi – yang artinya dia tidak ingin kembali padaku.

Aku tidak seperti perempuan yang ada disampingnya sekarang, yang begitu halus, cantik dan sexy. Aku tidak terlalu pandai dalam hal berbusana dan berdandan. Jika ku berdandan, aku hanya meminta  bantuan Maya, sepupuku, atau novi membantuku. Selebihnya adalah usahaku sendiri. Aku tidak berbusana cantik seperti perempuan ini. Tiba-tiba aku merasa jadi minder sendiri menatap mereka berdua. Mereka berdua tampak serasi. Aku ingin muntah. Bergegas ku pergi dari situ.

“ADUH” pekikku, “dasar bo..” makiku pelan  terhenti ketika menatap siapa yang barusan menabrakku.
‘astaga apakah aku bermimpi? Edgar?’ Rahang tirusnya terkatup rapat seperti ingin marah. Ia tampak rapi dengan balutan tuxedo hitam, dan harus ku akui Edgar memang tampan, ia memiliki wajah yang tirus dan putih, iris matanya berwarna coklat muda, rambut model cepak dan alis matanya tebal, tinggi dan atletis, pria idaman semua wanita yang berjumpa dengannya. Seandainya dia juga bisa menjadi Kevin yang menjadi pria idamanku. “..doh.” lanjutku. Dia menatapku sepintas kemudian pergi lagi. Sudah lama tidak berjumpa dengannya, mimik wajahnya terlihat sangat berbeda dibandingkan pertemuan pertama kami. Aku pun hampir melupakan kartu mahasiswaku yang dipegang olehnya, “astaga kartu mahasiswa!” pekikku pelan. Kemudian aku melanjutkan jalanku untuk keluar dari sini ketika kusadari Edgar telah hilang dibelakangku, aku sungguh lebih merasa tidak nyaman dengan keberadaan dua orang yang menurutku hadir disaat yang tidak tepat.

Seseorang menarik tanganku ketika aku hendak menyebrangi jalan ke trotoar dari PI menuju GI, dia menarikku masuk kembali ketempat yang bagiku begitu menyesakkan ini. Masih dalam tuxedo hitamnya, dia menarikku ke arah lift. Kelihatan setengah gelisah dia terus melirik jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan kiri sementara tangan kanannya tidak mau lepas dari tanganku padahal aku berusaha sebisa mungkin untuk lepas darinya. Entah mengapa hari ini aku tidak ingin berbicara ataupun berkomentar sepatah katapun dengan orang yang satu ini.

Lift terbuka dan apa yang kulihat? Kevin dengan kostum yang berbeda dari yang kulihat tadi dan pasangan modelnya dan seseorang yang sepertinya teman Kevin juga sedang mengobrol santai didalam.  Aku melambai kecil ke arah Kevin dan disapanya dengan senyuman hangatnya. Aku merasa damai dengan sikapnya ini walaupun tetap sakit dengan keberadaan seseorang disampingnya. Edgar masuk kedalam lift seperti tidak mengenal Kevin sebelumnya, memang mereka belum berkenalan secara langsung, dan menekan tombol F3. Merasa tidak nyaman, aku masih berusaha melepas genggaman tangan Edgar yang kudapati terus menerus dilihatin oleh Kevin dibalik ekor matanya.
Kami sampai duluan hingga kami harus berpisah disini, tak sempat aku menengok Kevin pintu liftnya sudah tertutup kembali. Aku masih geram dengan orang ini, apa yang akan dilakukannya? Dia memasuki sebuah butik dengan kotak etalase begitu besar berisikan 3 manekin dengan busana yang menurutku agak sedikit ‘wah’ yang sepertinya memang lebih cocok dikenakan oleh manekin dibandingkan oleh manusia.
“find me a white simple mini dress and heels for this girl, I want it to be chick, smart but sexy and don’t make me disappointed!” perintahnya ketus pada pramugari itu. Kali pertamanya aku melihat secara langsung konsep Edgar dalam mood kacaunya. Entahlah aku tak bisa membedakan kacau atau marahnya dia sekarang, lagipula aku tidak mengenalinya, ini pertemuan kami yang kedua setelah insiden jatuh pingsan dan kartu mahasiswa itu.
“aku tidak akan ikut dengan pramugari ini sebelum kau menjelaskan apa yang akan kau lakukan.” Ucapku akhirnya setelah bungkam 10 menit ini.
“find it” perintahnya lagi pada pramugari itu meninggalkan kami berdua.
Dia menepuk bahuku dan menatap wajahku lekat-lekat. “wajahmu bersih juga, tidak perlu terlalu banyak make-up, perfect!
“aku tidak peduli dengan kartu mahasiswa yang kau pegang, aku bisa membuat yang baru.”
Edgar mengeluarkan dompet dibalik tuxedonya, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dan memberikannya padaku. Kartu mahasiswaku. Setelah menunggu sepersekian detik tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya, aku keluar dari butik itu. Menyadari kepergianku Edgar menahan lenganku dan menatap telak ke kedua bola mataku seperti memohon.
“aku mohon tolonglah aku kali ini saja.” Tatapnya lirih.
“sir, the dress is ready to wear.” Kata seorang pramugari yang memecah keheningan diantara kami. Tanpa menoleh lagi aku mengikuti pramugari itu.
Aku mengambil dress yang diberikan oleh pramugari itu, betapa halusnya. Aku melihat pakaian yang aku gunakan sekarang, ‘astaga betapa dekilnya aku ini!’ pekikku.
“what do you think?” tanyaku pada pramugari itu.
“beautiful” jawabnya dengan wajah berseri-seri, entah untuk menyenangkan hatiku atau supaya dress dibutiknya ini laku atau apa, tapi memang demikian sangat cantik dress ini.
“how much”
“four point two”
“hah?”
“four millions and two hundreds” jelasnya tersenyum menyeringai. ‘what the hell is this! I’m not sure he will buy this one’ its time to show up, Edgar saw an angel!
Aku nyaris pingsan, kakiku lunglai ketika mendengar “get it” dari mulut orang ini dan ia langsung mengeluarkan credit cardnya menyerahkan pada pramugari tadi.
“apakah kau sudah gila? Gaun ini seharga 4.2juta! aku tidak tahu berapa harga sepatunya.”
“bodoh.” Makian yang terdengar sangat sarcastic menurutku diucapkan olehnya semenjak aku mengenalnya.  Aku menatap diriku sekali lagi didepan cermin, tapi sungguh dress ini tak sepadan denganku, aku merasa minder kembali.
“edgar, aku…” ucapku ketika dia berdiri disampingku.
“stop it. I have asked you to help me, and nobody will judge you.” Selanya menenangkanku, terlihat dia kembali damai sekarang.
“where are we going now?”
“bridal.” jawabnya dengan seuntas senyum disudut bibirnya. Bajuku dititipkan dibutik tadi dan aku akan mengambilnya segera. Ia melarangku untuk membawa tas yang berisi bajuku tadi. “tidak akan ada yang mengambilnya kalau dititipkan disini, kalau dibawa kemana-mana dan ketinggalan akan repot nantinya.” Begitulah alasannya.
***
“tetaplah dalam genggamanku selama pesta ini berlangsung, kamu tidak usah menjawab apapun yang ditanyakan biarkan aku yang akan menjawab semuanya.”

Grand Ballroom Mulya Hotel at 07.25pm

my goodness! Apakah ini yang disebut pesta bangsawan? Karena yang kulihat disini semuanya adalah kaum bangsawan! Mungkin hanya akulah yang berasal dari kaum renaissance.
Edgar mengambilkan 2 gelas sampanye yang ditawari oleh waitress.
“aku tidak bisa minum alcohol.”
“formalitas. Peganglah, aku tidak menyuruhmu untuk minum.” Dan aku pun mengambilnya.
“kalau boleh aku tahu, ini sebenarnya pesta apa?”
“nanti kamu akan tahu.”
Kenapa aku selalu diberi suatu jawaban dimana aku harus mencari tahunya sendiri.
“aku ingin ke toilet.”
“baiklah.”

Sesaat aku terlepas dari genggamannya, rasanya sesak berada dalam ruangan yang besar tapi dipadati dengan begitu banyak tamu undangan seperti ini. Aku lebih memilih dikerubuni anak-anak jalanan dibandingkan oleh mereka dan tempat seperti ini.

Aku berjalan mencari tulisan toilet atau gambar perempuan dengan rok, cukup jauh juga dari ruangan pesta. Percakapan kecil yang kutangkap di toilet ini, menafsirkan sebuah jawaban yang kucari barusan.
“syl, apakah kau melihat pasangannya hari ini?”
“belum, kenapa?” jawab suara yang lebih halus dari suara pertama tadi.
“tidak, hanya bertanya. Tadi aku sempat berkenalan dengannya, lumayan, tapi masih terlihat seperti anak-anak.”
“oh ya?” Tanya suara yang halus tadi seperti tidak yakin.
“apakah kau yakin dia yang akan menjadi tunangannya?”
Terdapat suatu jeda, perempuan yang bertanya itu tidak bisa menjawab. “entahlah, aku tidak yakin.”
“bukankah kamu yang harusnya menikah dengannya?” tanya seseorang lagi namun tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Ku menunggu di balik bilik toilet itu hingga langkah ketukkan heels mereka hilang dibalik pintu. Kemudian kudapati diriku kini sendirian didalam toilet dan kupandangi diriku saksama dibalik cermin, dibalut dengan sebuah white sleeveless mini dress, terlihat menawan seperti yang diharapkan Edgar, didandani menjadi seperti seorang putri, dan aku tidak tahu apa-apa.
“nah ini kau, akhirnya!” jawab Edgar lega seperti mendapatkan mainannya kembali. Ia menungguku didepan toilet dan bergegas menarik tanganku. “mereka sudah menunggu kita, ayo.” Katanya lagi terburu-buru.
“apakah aku…” aku berusaha bertanya dengan suaraku yang kian lama kian mengecil dibandingkan suara mic yang ada didepan kami. Walaupun tidak mengerti dengan percakapan kecil di toilet tadi, tapi aku bukanlah perempuan bodoh disini. Semenjak masuk ke pesta ini, semua orang menatap kami, ya aku dan Edgar. Banyak orang yang datang lalu lalang ketempat kami sekedar mengobrol dan memperkenalkan diriku sendiri. Aku tidak tahu apa itu, tapi acara ini pasti adalah acara yang penting bagi Edgar maupun bagi perempuan dengan suara halus tadi.
“….kami persembahkan Edgar Satria Oei, waktu dan tempat kami persilahkan.” Ucap seorang MC mempersilahkannya naik ke atas panggung hingga aku pun ikut terseret naik bersamanya.
Adrenalinku mengalir begitu deras, sampai aku pun bisa mendengar suara degup jantungku berdetak, nafasku sesak ingin pingsan tapi genggaman jemari Edgar yang kuat terus membuatku sadar untuk tetap berdiri mantap disampingnya. Aku tidak lagi mendengarkan apa yang diucapkannya, walaupun dia tepat berada disampingku. Aku sibuk menyelidiki setiap sudut orang yang bisa kulihat, tapi tak ada yang kukenal satupun. ‘siapa dia sebenarnya? Kenapa aku tidak tahu apapun tentang dia?’ ya jelas aku tidak mengenalnya, dia berbeda jurusan denganku, bahkan aku tidak mengetahui dia mengambil jurusan apa.
Semua orang bertepuk tangan, sepertinya akan turun. Aku menatap Edgar berharap ia segera turun dari panggung ini tapi dia balik menatapku dan menjulingkan matanya kearah tamu undangan. Aku kurang mengerti dan tiba-tiba saja aku langsung tersenyum menatap kearah tamu undangan. Aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, aku benar-benar ingin pingsan. Kenapa aku mau mengikuti permainan gila ini?!

Seorang gadis kecil membawakan kotak merah dikedua tangannya. Edgar membuka kotak itu dan mengambil cincin yang masih tersemat indah ditempatnya dan menyematkan dijari manis kananku. Dunia seakan-akan ingin runtuh. Aku belum ingin menikah! Dan sekarang giliranku menyematkan cincin itu dijarinya.

Setelah prosesi sacral itu selesai, semua tamu undangan tepuk tangan gembira atas pesta ini yang ternyata adalah pesta pertunangan seseorang bernama Edgar Satria Oei, pemuda tampan yang menggotongku sendirian ketika aku pingsan dari gedung I sampai ke poliklinik, membajak kartu mahasiswaku sampai sekarang, and I don’t know anymore, its too fast….
“jadi ini pilihanmu?” Tanya seorang wanita paruh baya dengan nada judes mengenakan kebaya putih yang mengkilap indah, menghampiri kami ketika kami telah turun dari atas panggung.
“iya oma.” Jawabnya mantap.
“namamu siapa?” Tanya nenek itu lebih halus menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Indah Andreana, oma.” Jawabku kemudian sungkeman ditangannya.
“masih kuliah? Tinggal dimana?” tanyanya lagi dengan nada lebih lembut lagi.
“iya oma, di daerah Grogol.”
“kamu anak daerah? Keluargamu kerja apa?”
“oma, oma janjikan tidak akan menyinggung soal latar belakang keluarganya.”
Oma menatap tajam kearahnya, menandakan beliau tidak suka pembicaraannya disela orang lain.
“iya, aku anak Manado. Mamahku usaha sendiri buka depot air isi ulang dan warung makan kecil.”
“depot air isi ulang?” Tanya oma dengan nada meyakinkan.
“i-iya oma” jawabku kemudian tertunduk malu.
Oma menghela nafas panjang sepertinya berusaha menerima kenyataan yang mungkin baginya pahit ini. “baiklah oma akan membicarakan hal ini dengan orang tuamu. Bagaimana dengan ayahmu?”
“mamah-papah pisah nek, aku dibawah asuhan mamahku. Kuliahku dibiayai oleh pihak keluarga papahku.”
“oh ya? Keluarga papahmu bisnis apa?”
“perusahaan minuman keras, disana terkenalnya Sari Cup.”
Oma manggut-manggut mengerti.
“apakah oma akan menceritakan hal ini pada orang tuaku?”
“tentu saja, ini adalah suatu hal besar, kita harus membicarakannya sebagai suatu keluarga besar juga.”
“tapi oma, bisakah aku yang membicarakan hal ini dengan mamah. Mamah mungkin akan berpikiran yang tidak-tidak tentang diriku jika mengetahui hal ini dari orang lain.”
“jadi orang tuamu belum tahu akan hal ini?”
Aku mengangguk pelan seakan-akan aku yang salah tidak memberitahukan hal sepenting ini kepada orang tua. Oma berpaling menatap tajam Edgar, matanya menyiratkan suatu pertanyaan besar ‘bagaimana mungkin hal sepenting ini tidak diketahui oleh orang tuanya?’ Aku kemudian menatap Edgar berusaha mencari bantuan, dan sepertinya dirinya sendiri juga sangat butuh bantuan jika ini sudah harus menyangkut orangtuaku.
Oma berpaling menatapku, memberikan senyum keibuannya, ‘apakah ada yang lucu? Itu benarkan, jika orang tuamu mendapatkan anaknya telah melaksanakan pertunangan itu menandakan anaknya telah MBA atau sejenisnya.’
“tenanglah, oma tidak akan membicarakan hal yang macam-macam.”
“tapi oma, kumohon. Aku takut pada mamahku.” Ucapku sungguh-sungguh. ‘sungguh aku lebih takut pada mamahku dibandingkan dengan setan!’
Oma tertawa lagi, “baiklah, baiklah, kamu yang akan membicarakan hal ini dengan mamahmu, bicarakanlah dengan baik supaya kamu juga mendapatkan restu dari mamahmu.”
Spontan aku langsung tersenyum sumringah oma membiarkan aku mengatakan langsung hal ini pada mamah. ‘astaga aku punya tugas yang berat sekarang.’
“sebaiknya kamu tinggal dirumahnya Edgar, ini sudah malam. Nanti saya akan menyuruh supir untuk mengantar kalian pulang.” Perintahnya.
Aku tidak tahu apakah ini mimpi atau kenyataan, tapi ketika aku mendapatkan suatu sensasi rasa sakit setelah aku mencubit tanganku, rasanya…. Ini bukan mimpi!
***

“maukah kau berdansa denganku?” terdengar suatu bisikan halus yang sangat familiar dibelakang telingaku. Aku berbalik mencari sosok yang berbisik itu.
“Kevin?” tanyaku kaget. “apa yang kau lakukan disini?” tanyaku lagi melepaskan minuman ringan yang kupegang daritadi, menunggu Edgar yang entah hilang kemana.
“harusnya aku yang bertanya, kenapa kau bisa menjadi tunangannya Edgar.”
“ehm itu…. Aku….” Jawabku terbata-bata.
“ada yang salah?”
“tentu saja tidak.” Jawabku mantap. “oh maksudku iya, ada sesuatu yang salah disini.” Jawabku gagap lagi.
Seperti biasa Kevin hanya memberikan senyum kecilnya lagi padaku. Hatiku nyaman bersamanya, tapi entah mengapa dia tidak demikian. Hari ini dia begitu gagah bak seorang pangeran berkuda putih datang untuk membangunkan sang putri yang telah tertidur sangat lama. Dongeng sleeping beauty sirna sekejap dalam sekali kedipan mata, aku berada dalam dunia nyata dan aku bukanlah putri yang akan dibangunkan oleh sang pangeran, Kevin.
“by the way, would you mind to dance with me?”
“I cant.” Desisku putus asa. “I cant dance.”
“oh just come, I will teach you somehow.” Bujuknya lagi dan tanpa basa basi meraih tangan kiriku mengajak ke tengah-tengah ruangan yang dijadikan sebagai dance floor.
“Kevin…” desisku lagi.
  
‘Everything by lifehouse’ menjadi backsound dansa kami berdua. Kevin meletakkan tangan kanannya yang begitu besar ke pinggangku yang kecil ini, menggenggam lembut jemari kiriku dan berdansa begitu halusnya. Aku berusaha mengikuti gerakannya tapi kadang kala aku tak sengaja menginjak kakinya. Bersandar dibawah dadanya yang besar, aku bisa mendengar detak jantungnya sayup-sayup dibalik tulang iganya dan nafasnya yang berhembus dirambutku.
‘You're all I want 
You're all I need
 
You're everything, everything’
Sebuah penggalan lagu yang sangat kuingat, ingin sekali penggalan lagu ini kuberikan pada Kevin. Ku menatap wajahnya yang bersinar dibalik temaram lampu yang sedikit diredupkan dan bulir-bulir kecil air mata pun berkumpul dipelupuk mata.
“apakah kau mencintainya?”
“huh?”
“Edgar, apakah kau benar-benar mencintainya?” Tanya Kevin lagi.
“apa maksudmu?”
“kalau kamu mencintainya, kamu tidak akan menangis seperti sekarang.”
“aku tidak menangis.”
“jangan berbohong padaku Indah, aku mengenalmu lebih dari siapapun.”
Aku terdiam seraya menunduk mendengar kata-katanya. Ketika Kevin mengucapkan nama depanku artinya dia serius dengan percakapan yang dia bicarakan.
“entahlah..”
“jangan bertindak bodoh! Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia.” Balasnya lagi masih dengan nada suara yang sama.
“apakah kau telah mengenalnya?” tanyaku menatap wajahnya langsung.
Kevin tak bergeming sedikitpun, dia berusaha mengalihkan pandangannya berpura-pura mengatur langkah kakinya.
“kenapa kau tidak mengatakannya padaku?” tanyaku keras.
“apakah kau ingin aku berbuat demikian?”
“tentu saja!” jawabku mantap. “tapi tidak usah, semuanya sudah terlambat, kau sudah dalam jalanmu sendiri.”
“jadi apakah kau menerima dia, dan tidak ingin aku merebutmu kembali?” desaknya dengan nada kecewa.
“bukan itu Kevin.” Jawabku. “dia akan terluka.” Jawabku lagi. Dadaku sesak ketika harus membayangkan kejadian tadi di PI dan didalam lift. Aku seperti berada dalam posisi ‘maju kena, mundur pun kena.’
“oh hahahaha, apakah kau memikirkan perempuan itu?” Tanya Kevin dengan tawa halusnya, menggodaiku.
Aku berpaling, tidak ingin menatap tatapan nakalnya Kevin. Aku akan menjadi seperti kepiting rebus jikalau dia berhasil menggodaiku.
“apakah kau cemburu?” tanyanya lagi masih dengan senyum nakalnya.
“hentikan Kevin.” Desakku tidak tahan.
“ok ok, itu sudah cukup, kau telah menjawab iya.” Katanya masih setengah tertawa, dia mendekapku lebih erat dalam pelukan dansanya. Entahlah orang-orang melihat kami seperti apa. Aku bukanlah Indah Andreana yang biasa lagi, aku adalah tunangan Edgar Oei. Mungkin aku beranggapan ini hanyalah main-main, tapi tidak dimata Oma, Kevin, dan orang lain.
“jangan sakiti dia.” Pintaku pelan.
“kenapa? Kenapa kau begitu memperdulikan dia?”
“aku dan dia sama-sama adalah seorang perempuan, dan aku tahu bagaimana rasanya tersakiti!” jawabku menatap matanya dalam, ingin kulihat apa yang dilihat dibalik bola matanya, tapi yang ada secercah sinar kecil yang ada disana, tidak ada aku. “dan aku tidak ingin kau memperlakukan dia seperti mainan.”
“sejak kapan kau begitu memperhatikan perasaan orang lain? Apakah kau ada sedikit pun memperhatikan  perasaanku? Apakah kau tahu betapa sakitnya ketika aku harus melepaskanmu? Apakah saat ini kau mengharapkanku untuk merebutmu kembali, ketika semuanya sudah seperti ini?
“JBLEP!” hatiku rasanya tertusuk mendengar pertanyaan yang menurutku juga pengakuannya. Aku terdiam beberapa saat. Cukup lama. Hanya menatap wajahnya yang kokoh itu tenggelam dalam kedua bola matanya. Kakinya masih lincah bergerak kesana kemari mengikuti irama yang sendu itu.
“maafkan aku, aku tidak bermaksud menyinggungmu.” Ujarnya lagi memecah keheningan diantara kami berdua.
“ok tenang saja, aku tidak apa-apa.”
“kau tidak mencintainya dan kau tidak tahu apa-apa tentang dia, kau akan terluka jika masuk dalam hubungan ini.” Jawab Kevin terdengar frustasi.
“setidaknya kami telah mencoba.” jawab seseorang ikut campur pembicaraan kami yang kian memanas. “Andrea telah memilih jalannya, jika memang dia akan tersakiti, dia akan tahu itu. Dan sekalipun aku, apalagi kau tidak berhak untuk menutup jalan yang selalu terbuka didepannya.”
Seketika aku melepaskan tanganku dari Kevin, layaknya seorang yang ketahuan mencuri aku tertunduk malu. “Edgar..” gumamku.
“apa hakmu berbicara seperti itu padaku?” aju Kevin gusar.
“dan apa hakmu menghakimi tunanganku?”
Percakapan kian memanas, mereka berdua saling bertatap-tatapan tajam, mungkin jika tidak dicegah mereka berdua akan saling adu tinju di dance floor. Dan aku tidak akan membiarkan mereka berdua mempermalukan diri ditempat umum seperti ini. Aku tahu Kevin tidak biasanya dipancing seperti ini. Kevin bukanlah tipe orang yang menerima kekalahan dengan begitu mudahnya. 
“sudahlah cukup, orang-orang menatap kita, apakah kalian tidak sadar itu?” desisku tajam. Beberapa pasang mata menatap kearah kami. Saling berbisik apa yang sedang terjadi disini, aku menarik tangan Edgar dan menghindari pusat tatapan mata itu meninggalkan Kevin disana yang mungkin masih terbujur kaku tidak percaya bahwa aku lebih memilih Edgar dibandingkan dia.
“aku tidak ingin memainkan permainanmu ini lagi!” kataku kasar ketika kami telah berada diluar ballroom. Beberapa orang lalu lalang disekitar kami, tapi dalam jarak kira-kira 5 meter.
“tidak semudah itu ndre, kita sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah.” Balasnya terdengar frustasi.
 “a-apa? Menikah? “ tanyaku memastikan. Kata ‘menikah’ agak sedikit mengerikan dalam kasusku saat ini.
“iya ndre, kita akan menikah.”
“t-tunggu dulu, tadi kau hanya memintaku untuk membantumu dan aku tidak tahu apa yang harus kubantu karena kamu tidak mau mengatakannya padaku. Dan ternyata bantuan dariku itu adalah menjadi tunanganmu dan sekarang kamu memintaku untuk menikah denganmu?” tanyaku sambil menjelaskan panjang lebar. Aku begitu frustasi dengan semua ini. “apakah kau sudah gila? Pernikahan itu adalah suatu hal yang sacral! Dan aku tidak akan main-main dengan hal ini!” kataku setengah gelisah, kemudian kembali ke ballroom meninggalkan sepasang mata menatapku begitu nanar.
“Oma!” pekikku terkejut.
“apa yang sedang kalian perbincangkan?” Tanya beliau.
‘Mungkin ini saat yang tepat sebelum semuanya menjadi lebih berantakan.’ batinku
“oma, maafkan aku, aku….”
“apakah kau akan melukai hati oma skarang?” bisik Edgar dibelakangku kemudian berdiri sigap disampingku.
“maaf kenapa andrea?”
Aku menatap nanar wajah Edgar, ingin sekali aku meneriakinya. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi kenapa ketika dia berkata seperti itu keberanian yang muncul seperti nyala api kini lenyap sudah?
“andrea tidak siap dengan pertunangan yang oma adakan, memang aku yang salah karna aku tidak menjelaskan bahwa hari ini adalah hari pertunanganku.” Jelas Edgar. “dan andrea lebih tidak siap lagi jika oma akan mengadakan pernikahan dalam waktu dekat.” Tambahnya lagi kemudian menatapku dan tersenyum begitu polos. Aku tahu dia membantuku, tapi bukan begini caranya.
“kenapa? Jika sudah bertunangan, pernikahan harus ditentukan secepatnya bukan?”
“tidak oma, oma juga harus mempertimbangkan orang tuanya, dan juga kuliahnya.” katanya. “oma, andrea kuliah kedokteran, dan ini bukanlah pelajaran sembarangan.” jelasnya dengan nada sedikit mengancam. “aku akan menunggu sampai andrea selesai kuliah dan juga sampai dia siap untuk menikah denganku.”
“terlalu lama Oei junior!” tantang nenek tidak mau menyerah. Oma juga tahu dengan orang tuamu dan kuliahmu, tapi..”
“Oma! Bisakah oma untuk menghargai keputusanku kali ini saja? Selama ini aku patuh pada setiap perkataan oma, dan sampai hari ini aku mengikuti perintah oma untuk bertunangan dengan siapapun yang akan oma pilih sampai aku bisa membawakan seorang calon yang sesuai criteria oma. Apakah oma harus mengatur seluruh kehidupan pribadiku?”
“Edgar!” desisku tajam. Tega sekali kau berbicara seperti itu. Oma termenung sesaat, mungkin merenungi apa yang telah dilakukannya selama hidup Edgar sampai saat ini, tapi tetap saja ia tidak berhak untuk berbicara seperti itu pada oma.
“baiklah. Sampai andrea selesai kuliah.” Jawab oma menyerah.
“dan sampai dia siap untuk menikah denganku.” Tambah Edgar lagi.
“tentu saja dia sudah akan siap untuk menikah denganmu. Iya kan sayang?” balas oma dengan senyum nakal disudut bibirnya.
“hahahaha.” aku hanya bisa tertawa kecil berjalan mengikuti langkah oma masuk kembali ke ballroom.


CLICK FOR MONEY!

FellowEquality.com