Saturday, June 07, 2014

4. Charity Anwar.

“ndre bisakah kamu menggantikan kak Stefan di acara Charity Anwar?”
“oh itu kan acara penggalangan yang akan dibawakan Kak Stefan, kak Stefan-nya kenapa?”
“dia tiba-tiba tidak bisa bermain hari itu, katanya sih dia tidak diijinkan orang tuanya lagi keluyuran.”
Aku tertawa pelan. “masa sih? Kalau benar begitu sayang sekali, itu acara yang sangat ditunggu-tunggu olehnya ya.”
“begitulah, tapi kak Stefan sudah setahun ketinggalan kuliahnya, gimana orang tua bisa tenang coba.” Balasnya. “jadi apakah kau bersedia menggantikan posisi kak Stefan?”
“tentu, tentu saja.” Sahutku senang. Senang diatas penderitaan orang lain tepatnya.
“apakah kamu punya gaun malam?” tanyanya.
“ah tidak, satu pun aku tidak punya.”
“cih andrea, sudah 2 tahun tinggal di Jakarta tapi kamu tidak memiliki satupun gaun malam, dasar udik!”
“HAHAHA. Kalau aku tidak punya, aku kan bisa pinjam punyamu.”
“hari jumat nanti jangan lupa kerumahku nanti kita bisa lihat mana yang cocok untukmu.”
“thank you so much, Evelyn.”
***

“Eve, aku sungguh gugup sekali.”
“ndre, kamu tahu kenapa aku memilihmu? Karena kamu yang paling berani diantara anak-anak dramus lainnya, jadi aku tidak ingin menghancurkan malam ini hanya karena tiba-tiba kamu berubah menjadi coward disini.”
“iya Eve, aku tahu, tapi ini kali pertamaku berada diacara seperti ini.”
“yasudah kamu harus bayangkan acara ini seperti acara dramus yang sering kita lakukan, OK? Kita sudah mensikronisasikan nada dan ritme kita sejak latihan, kamu bisa kan?”
Aku mengangguk mantap, tapi mataku masih tetap was-was. Ini adalah acara perdanaku sebagai pianis dalam kegiatan penggalangan dana yang diadakan oleh sebuah Rumah Sakit Central Nagara. Acara ini sudah dibidik jauh-jauh hari oleh kak Stefan, senior pianis di dramus. Menurutnya, sebagai seorang pianis ga afdol kalau belum mengikuti acara ini, sekalian juga ini menjadi acara perdana penggalangan dana kita kelak jika kita menjadi pianis terkenal.
Charity Anwar telah digelar semenjak tahun 2010, setahun setelah Rumah Sakit Central Nagara resmi dibuka dan Charity Anwar menjadi program tahunan mereka. Tahun ini mereka mengambil syair tentang persahabatan. Persahabatan yang merangkul siapa saja yang kita kenal sejak kita kecil, yang kita cintai dan kasihi, yang berubah menjadi kebencian dan amarah dan yang telah pergi meninggalkan kita selama-lamanya. Aku dan Evelyn mendapat bagian terpenting dalam acara ini, kami akan membawakan syair karangan Chairil Anwar yang berjudul ‘Kepada Kawan’. Sesuai dengan tradisi acara ini, syair akan kami bawakan dalam bentuk sebuah nyanyian lagu tapi masih memiliki nada syairnya. Evelyn dan kak Stefan juga beberapa composer Charity Anwar telah meng-arrangement menjadi suatu kompilasi yang unik pada syair ini. Dengan kerja sama serta kerja keras mereka, mereka berhasil membentuk syair menjadi suatu nyanyian yang siap dipersembahkan malam ini. Sayang sekali kak Stefan tidak bisa membawakannya secara langsung.
Acara itu diawali dengan kata-kata sambutan dari direktur utama Rumah Sakit Central Nagara, Sutrisno Hasan, kemudian disusul oleh ketua panitia acara ini dan ramah tamah. Selanjutnya kami berdua akan segera naik ke atas panggung untuk mempersembahkan nyanyian syair yang menjadi hidangan utama acara malam ini.
“siap ndre?”Aku mengangguk mantap menatap kedua bola mata coklat karena contact lens itu. Kami berdua pun melangkah mantap menaiki panggung, aku menuju kursi piano dan Evelyn menuju tempat mic nya berdiri.

Kepada Kawan 
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu

Bait terakhir syair dinyanyikan panjang oleh Eve, hingga membuat bulu kudukku berdiri. Setelah suaranya hilang diujung mic, tepuk tangan menghujani seisi ballroom itu. Aku berdiri disamping Eve dan sama-sama kami berdua menunduk sebagai tanda ucapan terima kasih kami. Selanjutnya aku kembali ke kursi piano itu membawakan beberapa karangan Schubert, Liszt, dan beberapa composers terkenal.
“hey.” Sapa seseorang yang mendekatiku diatas panggung.
“oh hai.” Kuangkat kepalaku dari tumpukan tuts piano melihat siapa yang menyapaku. ‘kevin?’ batinku. Tanganku masih menari indah diatas tuts .
“lagu kalian sangat bagus, semua orang terkesima dengan lagu kalian.”
“oh itu bukan lagu, itu syair yang dibawakannya.”
“oh hahaha terdengar seperti lagu menurutku. Kamu masih ingin memainkannya?” tanyanya sambil memperhatikan jemariku yang tidak ingin lepas dari situ.
“kau ingin menggantikanku?”
“aku ingin main double.”
“ah silahkan.”
Aku menyelesaikan lagu yang kumainkan kemudian aku sedikit bergeser dari tempat dudukku mempersilahkan Kevin duduk disampingku berhimpitan.
“bagaimana kalau La Campanella?”
“bukankah hanya itu yang kau tahu?”
Kevin tertawa kecil menahan geli bahwa ia hanya mengetahui satu karangan dari ratusan karangan composer terkenal. Ia mulai memainkan jemarinya diatas tuts pelan, mengisyaratkan aku harus segera ikut bermain untuk menutupi bagian cepat dari lagu ini. Kevin tidak bisa memainkan piano dalam tempo yang cepat walaupun lagu yang ia pilih memiliki tempo demikian.
“dengan siapa kesini?”
“dengan Eve.” Jawabku. Sesekali ku menatap wajah Kevin yang begitu tenang memainkan lagu ini.
“oh ya?”
“kamu?”
“dengan Tyar, tante Anna merupakan ketua panitia acara ini.”
“oo.” Jawabku datar.
“tante Anna itu mamanya Tyar.”
Aku mengangguk, berpura-pura berkonsentrasi dengan jemariku, padahal aku bisa memainkan lagu ini dengan mata tertutup sekalipun.
“apakah kau sudah berpacaran dengannya?” tanyaku setelah kami diam beberapa saat.
“iya.”
“berapa lama?”
“4 bulan.”
“apakah kamu sama sekali tidak pernah memikirkan untuk kembali bersamaku?”
“Indah..”
“maaf, tapi aku hanya penasaran.”
“ind, kita sudah pernah sepakat untuk tidak pernah mengulangi pembicaraan ini. Aku tetap masih menyayangimu bukan?
Aku mengangkat bahuku. “hanya jawab saja.”
“pernah. Sekali. Dan aku putuskan untuk tidak memikirkannya kembali, aku harus terus maju.” ‘Ya aku tahu jika kamu tetap bersamaku hidupmu akan terus berjalan ditempat, tidak maju sedikit pun. Aku tahu jika kamu masih bersamaku saat ini, hidupmu tidak akan sebahagia ini, jika kamu masih bersamaku mungkin kamu akan tersiksa lebih dalam lagi.’ Batinku perih. Lagu yang kami bawakan telah selesai, kami berdua berdiam diri diatas kursi itu tak bergeming sedikit pun.
“aku tetap menyayangimu.” Katanya lagi sambil mengecup ujung kepalaku dan beranjak berdiri dari situ.
“aku tahu, aku juga. Semoga kamu bahagia bersamanya.”
“kamu juga.”
Kevin meninggalkanku diatas panggung, aku melihat dia menuruni tangga itu hingga ia membaur ditengah kerumunan orang yang hadir diacara itu. Selanjutnya aku tidak memperdulikan pengumuman hasil penggalangan dana yang telah terkumpul maupun acara penutup lainnya. Pikiranku serasa melayang entah kemana.
“ndre, kamu kenapa? Apakah kamu tidak enak badan?”
“o-oh tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya sangat senang bisa berada diacara ini sampai-sampai aku tidak bisa berkata-kata.”
“benarkah? Aku juga! Tadi aku bertemu dengan dua orang pemilik label produksi rekaman, ndre. Harusnya kamu juga tadi ikut denganku.”
“oh ya? Sayang sekali, tapi aku hanya bisa memainkan piano, aku tidak bisa bernyanyi sebagus dirimu.”
“kamu pasti bisalah. Nanti jika kamu tertarik akan aku kenalkan kamu dengan mereka.”
“ah tidak usah, aku tidak tertarik dengan dunia tarik suara, di dramus saja kerjanya sudah susah minta ampun apalagi di begituan.”
Eve terkekeh pelan. “iya deh yang sibuk, aku juga ngerti kok. tapi aku ingin mencobanya, doakan aku ya!”
“pasti.” Jawabku sambil tersenyum girang. “oh ya terima kasih ya untuk gaun dan tumpangannya, gaunnya akan kukembalikan secepatnya.” Jawabku sambil menutup pintu mobilnya.
“santai aja, nanti pas latihan dramus aja.”
“ok, hati-hati nyetirnya.” Mobil itu pun menghilang dibelokan ujung jalan ini, aku pun masuk ke dalam lobby flat-ku. Sambil menunggu lift, tiba-tiba aku merasakan bulir-bulir air mata menghalangi pandanganku. Aku mengusapnya hingga bulir itu jatuh membasahi pipiku. Setiap kuusap bulir itu terus muncul lagi dimataku hingga akhirnya aku berhenti mengusapnya dan membiarkannya terus jatuh dipipiku. Aku merogoh clutch, mencari kunci flat-ku. Aku berjalan tertatih-tatih karena gaunnya yang panjang, dan ketika tiba didepan pintu aku melihat gambaran seseorang telah berdiri bersandar disamping pintu. Kami berdua saling bertatapan sepersekian detik sampai kusadari kuncinya telah berada ditanganku. Aku mengusap tangisanku tidak peduli seberapa berantakan diriku saat ini, mencoba untuk tetap berdiri kokoh didepan orang ini. Kucoba membuka pintu, memasukkan sembarang kunci hingga kunci itu jatuh. Orang yang bersandar itu membantu mengambilkan kunci itu dan mencarikan kunci flat yang bergelantungan diatas tumpukkan kunci lainnya. Dan ia berhasil membuka pintu itu dengan 2 putaran. Aku masuk mendahuluinya dan membiarkannya mengunci pintu. Kubanting pintu kamarku sekuat tenaga dan menangis dengan keras didalam. Orang tadi terduduk lemas tidak berbicara sedikitpun di luar. Ia menyalakan tv dan menekan remote mencari siaran yang menurutnya enak ditonton saat ini. Tapi semuanya sama saja, ia pun menghentikan pencariannya disiaran tv berita malam itu, menontonnya hingga tertidur.
Kutatap diriku saat ini didepan cermin, kunyalakan air di wastafel dan kubasuh wajahku. Mascara yang tadi luntur dan kering dipipiku kini basah dan perlahan-lahan menghilang setiap kali kubasuh dan kuusap wajahku. ‘Aku baik-baik saja, aku akan baik-baik saja.’ Ucapku dalam hati. Aku mengganti gaun malamku dengan piyama yang sering kugunakan, kuperiksa gaun itu takut-takut tangisanku tadi mengotori gaunnya. Ku gantungkan gaun itu di sebuah hanger dan kuletakkan di atas tempat tidurku. Kubuka pintu kamarku dan kulihat dia tertidur pulas di couch, kedua kakinya diluruskan kedepan diatas meja, tv masih menyala sedang menontonnya tidur. Kududuk perlahan disampingnya tidak ingin membangunkannya, tapi berharap dia terbangun sendiri. Tapi ia tak kunjung bangun, ku ambil remote dan ku utak atik channel yang eye catching dimataku saat ini. Dan aku pun tetap kembali ke channel awal sebelumnya, channel berita malam saat itu yang kebetulan sedang dibawakan oleh newscaster favoritku, Jeremy Teti.




No comments:

Post a Comment

Glad to have you here :)

CLICK FOR MONEY!

FellowEquality.com