“ndre bisakah kamu menggantikan
kak Stefan di acara Charity Anwar?”
“oh itu kan acara penggalangan
yang akan dibawakan Kak Stefan, kak Stefan-nya kenapa?”
“dia tiba-tiba tidak bisa bermain
hari itu, katanya sih dia tidak diijinkan orang tuanya lagi keluyuran.”
Aku tertawa pelan. “masa sih?
Kalau benar begitu sayang sekali, itu acara yang sangat ditunggu-tunggu olehnya
ya.”
“begitulah, tapi kak Stefan sudah
setahun ketinggalan kuliahnya, gimana orang tua bisa tenang coba.” Balasnya. “jadi
apakah kau bersedia menggantikan posisi kak Stefan?”
“tentu, tentu saja.” Sahutku
senang. Senang diatas penderitaan orang lain tepatnya.
“apakah kamu punya gaun malam?”
tanyanya.
“ah tidak, satu pun aku tidak
punya.”
“cih andrea, sudah 2 tahun
tinggal di Jakarta tapi kamu tidak memiliki satupun gaun malam, dasar udik!”
“HAHAHA. Kalau aku tidak punya,
aku kan bisa pinjam punyamu.”
“hari jumat nanti jangan lupa
kerumahku nanti kita bisa lihat mana yang cocok untukmu.”
“thank you so much, Evelyn.”
***
“Eve, aku sungguh gugup sekali.”
“ndre, kamu tahu kenapa aku
memilihmu? Karena kamu yang paling berani diantara anak-anak dramus lainnya,
jadi aku tidak ingin menghancurkan malam ini hanya karena tiba-tiba kamu
berubah menjadi coward disini.”
“iya Eve, aku tahu, tapi ini kali
pertamaku berada diacara seperti ini.”
“yasudah kamu harus bayangkan
acara ini seperti acara dramus yang sering kita lakukan, OK? Kita sudah
mensikronisasikan nada dan ritme kita sejak latihan, kamu bisa kan?”
Aku mengangguk mantap, tapi
mataku masih tetap was-was. Ini adalah acara perdanaku sebagai pianis dalam
kegiatan penggalangan dana yang diadakan oleh sebuah Rumah Sakit Central Nagara.
Acara ini sudah dibidik jauh-jauh hari oleh kak Stefan, senior pianis di
dramus. Menurutnya, sebagai seorang pianis ga afdol kalau belum mengikuti acara
ini, sekalian juga ini menjadi acara perdana penggalangan dana kita kelak jika
kita menjadi pianis terkenal.
Charity Anwar telah digelar semenjak tahun 2010, setahun setelah
Rumah Sakit Central Nagara resmi dibuka dan Charity
Anwar menjadi program tahunan mereka. Tahun ini mereka mengambil syair
tentang persahabatan. Persahabatan yang merangkul siapa saja yang kita kenal
sejak kita kecil, yang kita cintai dan kasihi, yang berubah menjadi kebencian
dan amarah dan yang telah pergi meninggalkan kita selama-lamanya. Aku dan
Evelyn mendapat bagian terpenting dalam acara ini, kami akan membawakan syair
karangan Chairil Anwar yang berjudul ‘Kepada Kawan’. Sesuai dengan tradisi
acara ini, syair akan kami bawakan dalam bentuk sebuah nyanyian lagu tapi masih
memiliki nada syairnya. Evelyn dan kak Stefan juga beberapa composer Charity Anwar telah meng-arrangement menjadi suatu kompilasi yang
unik pada syair ini. Dengan kerja sama serta kerja keras mereka, mereka
berhasil membentuk syair menjadi suatu nyanyian yang siap dipersembahkan malam
ini. Sayang sekali kak Stefan tidak bisa membawakannya secara langsung.
Acara itu diawali dengan
kata-kata sambutan dari direktur utama Rumah Sakit Central Nagara, Sutrisno
Hasan, kemudian disusul oleh ketua panitia acara ini dan ramah tamah.
Selanjutnya kami berdua akan segera naik ke atas panggung untuk mempersembahkan
nyanyian syair yang menjadi hidangan utama
acara malam ini.
“siap ndre?”Aku mengangguk mantap
menatap kedua bola mata coklat karena contact
lens itu. Kami berdua pun melangkah mantap menaiki panggung, aku menuju
kursi piano dan Evelyn menuju tempat mic
nya berdiri.
Kepada Kawan
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu
Bait terakhir syair dinyanyikan
panjang oleh Eve, hingga membuat bulu kudukku berdiri. Setelah suaranya hilang
diujung mic, tepuk tangan menghujani
seisi ballroom itu. Aku berdiri
disamping Eve dan sama-sama kami berdua menunduk sebagai tanda ucapan terima
kasih kami. Selanjutnya aku kembali ke kursi piano itu membawakan beberapa
karangan Schubert, Liszt, dan beberapa composers
terkenal.
“hey.” Sapa seseorang yang
mendekatiku diatas panggung.
“oh hai.” Kuangkat kepalaku dari
tumpukan tuts piano melihat siapa yang menyapaku. ‘kevin?’ batinku. Tanganku
masih menari indah diatas tuts .
“lagu kalian sangat bagus, semua orang
terkesima dengan lagu kalian.”
“oh itu bukan lagu, itu syair
yang dibawakannya.”
“oh hahaha terdengar seperti lagu
menurutku. Kamu masih ingin memainkannya?” tanyanya sambil memperhatikan
jemariku yang tidak ingin lepas dari situ.
“kau ingin menggantikanku?”
“aku ingin main double.”
“ah silahkan.”
Aku menyelesaikan lagu yang
kumainkan kemudian aku sedikit bergeser dari tempat dudukku mempersilahkan
Kevin duduk disampingku berhimpitan.
“bagaimana kalau La Campanella?”
“bukankah hanya itu yang kau
tahu?”
Kevin tertawa kecil menahan geli
bahwa ia hanya mengetahui satu karangan dari ratusan karangan composer terkenal. Ia mulai memainkan
jemarinya diatas tuts pelan, mengisyaratkan aku harus segera ikut bermain untuk
menutupi bagian cepat dari lagu ini. Kevin tidak bisa memainkan piano dalam
tempo yang cepat walaupun lagu yang ia pilih memiliki tempo demikian.
“dengan siapa kesini?”
“dengan Eve.” Jawabku. Sesekali
ku menatap wajah Kevin yang begitu tenang memainkan lagu ini.
“oh ya?”
“kamu?”
“dengan Tyar, tante Anna
merupakan ketua panitia acara ini.”
“oo.” Jawabku datar.
“tante Anna itu mamanya Tyar.”
Aku mengangguk, berpura-pura
berkonsentrasi dengan jemariku, padahal aku bisa memainkan lagu ini dengan mata
tertutup sekalipun.
“apakah kau sudah berpacaran dengannya?”
tanyaku setelah kami diam beberapa saat.
“iya.”
“berapa lama?”
“4 bulan.”
“apakah kamu sama sekali tidak
pernah memikirkan untuk kembali bersamaku?”
“Indah..”
“maaf, tapi aku hanya penasaran.”
“ind, kita sudah pernah sepakat
untuk tidak pernah mengulangi pembicaraan ini. Aku tetap masih menyayangimu
bukan?
Aku mengangkat bahuku. “hanya
jawab saja.”
“pernah. Sekali. Dan aku putuskan
untuk tidak memikirkannya kembali, aku harus terus maju.” ‘Ya aku tahu jika
kamu tetap bersamaku hidupmu akan terus berjalan ditempat, tidak maju sedikit
pun. Aku tahu jika kamu masih bersamaku saat ini, hidupmu tidak akan sebahagia
ini, jika kamu masih bersamaku mungkin kamu akan tersiksa lebih dalam lagi.’ Batinku
perih. Lagu yang kami bawakan telah selesai, kami berdua berdiam diri diatas
kursi itu tak bergeming sedikit pun.
“aku tetap menyayangimu.” Katanya
lagi sambil mengecup ujung kepalaku dan beranjak berdiri dari situ.
“aku tahu, aku juga. Semoga kamu
bahagia bersamanya.”
“kamu juga.”
Kevin meninggalkanku diatas
panggung, aku melihat dia menuruni tangga itu hingga ia membaur ditengah
kerumunan orang yang hadir diacara itu. Selanjutnya aku tidak memperdulikan
pengumuman hasil penggalangan dana yang telah terkumpul maupun acara penutup
lainnya. Pikiranku serasa melayang entah kemana.
“ndre, kamu kenapa? Apakah kamu
tidak enak badan?”
“o-oh tidak, aku tidak apa-apa.
Aku hanya sangat senang bisa berada diacara ini sampai-sampai aku tidak bisa
berkata-kata.”
“benarkah? Aku juga! Tadi aku
bertemu dengan dua orang pemilik label produksi rekaman, ndre. Harusnya kamu
juga tadi ikut denganku.”
“oh ya? Sayang sekali, tapi aku
hanya bisa memainkan piano, aku tidak bisa bernyanyi sebagus dirimu.”
“kamu pasti bisalah. Nanti jika
kamu tertarik akan aku kenalkan kamu dengan mereka.”
“ah tidak usah, aku tidak
tertarik dengan dunia tarik suara, di dramus saja kerjanya sudah susah minta
ampun apalagi di begituan.”
Eve terkekeh pelan. “iya deh yang
sibuk, aku juga ngerti kok. tapi aku ingin mencobanya, doakan aku ya!”
“pasti.” Jawabku sambil tersenyum
girang. “oh ya terima kasih ya untuk gaun dan tumpangannya, gaunnya akan
kukembalikan secepatnya.” Jawabku sambil menutup pintu mobilnya.
“santai aja, nanti pas latihan
dramus aja.”
“ok, hati-hati nyetirnya.” Mobil
itu pun menghilang dibelokan ujung jalan ini, aku pun masuk ke dalam lobby flat-ku. Sambil menunggu lift,
tiba-tiba aku merasakan bulir-bulir air mata menghalangi pandanganku. Aku
mengusapnya hingga bulir itu jatuh membasahi pipiku. Setiap kuusap bulir itu terus
muncul lagi dimataku hingga akhirnya aku berhenti mengusapnya dan membiarkannya
terus jatuh dipipiku. Aku merogoh clutch,
mencari kunci flat-ku. Aku berjalan
tertatih-tatih karena gaunnya yang panjang, dan ketika tiba didepan pintu aku
melihat gambaran seseorang telah berdiri bersandar disamping pintu. Kami berdua
saling bertatapan sepersekian detik sampai kusadari kuncinya telah berada
ditanganku. Aku mengusap tangisanku tidak peduli seberapa berantakan diriku
saat ini, mencoba untuk tetap berdiri kokoh didepan orang ini. Kucoba membuka
pintu, memasukkan sembarang kunci hingga kunci itu jatuh. Orang yang bersandar
itu membantu mengambilkan kunci itu dan mencarikan kunci flat yang bergelantungan diatas tumpukkan kunci lainnya. Dan ia
berhasil membuka pintu itu dengan 2 putaran. Aku masuk mendahuluinya dan
membiarkannya mengunci pintu. Kubanting pintu kamarku sekuat tenaga dan
menangis dengan keras didalam. Orang tadi terduduk lemas tidak berbicara
sedikitpun di luar. Ia menyalakan tv dan menekan remote mencari siaran yang menurutnya enak ditonton saat ini. Tapi
semuanya sama saja, ia pun menghentikan pencariannya disiaran tv berita malam
itu, menontonnya hingga tertidur.
Kutatap diriku saat ini didepan
cermin, kunyalakan air di wastafel dan kubasuh wajahku. Mascara yang tadi
luntur dan kering dipipiku kini basah dan perlahan-lahan menghilang setiap kali
kubasuh dan kuusap wajahku. ‘Aku baik-baik saja, aku akan baik-baik saja.’
Ucapku dalam hati. Aku mengganti gaun malamku dengan piyama yang sering
kugunakan, kuperiksa gaun itu takut-takut tangisanku tadi mengotori gaunnya. Ku
gantungkan gaun itu di sebuah hanger
dan kuletakkan di atas tempat tidurku. Kubuka pintu kamarku dan kulihat dia
tertidur pulas di couch, kedua
kakinya diluruskan kedepan diatas meja, tv masih menyala sedang menontonnya
tidur. Kududuk perlahan disampingnya tidak ingin membangunkannya, tapi berharap
dia terbangun sendiri. Tapi ia tak kunjung bangun, ku ambil remote dan ku utak atik channel yang eye catching dimataku saat ini. Dan aku pun tetap kembali ke channel awal sebelumnya, channel berita malam saat itu yang
kebetulan sedang dibawakan oleh newscaster
favoritku, Jeremy Teti.
No comments:
Post a Comment
Glad to have you here :)