Saturday, April 12, 2014

2. Being a Fake Cinderella was sucks!

Kuliahku semakin padat semester ini ternyata break itu ada gunanya juga. Aku sudah lama tak keliling naik busway, aku ingin mengisi hariku serta merta hatiku yang kosong untuk terisi kembali dengan sesuatu yang hidup lagi dari luar sana. Enam bulan sudah hubunganku berakhir, cinta pertamaku, kekasih pertamaku. Hilang. Entah karena aku yang begitu bodoh, atau tidak tahu bagaimana caranya berpacaran. Entahlah. Kevin adalah cinta pertamaku, dan itu tak ‘kan bisa tergantikan oleh siapapun. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Dan kami terlalu banyak kenangan untuk dipendam mendalam. Banyak hal, cerita, tempat dan suasana yang kerap kali mengingatkanku akan dia. Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Aku makin terpuruk sendiri dengan duniaku, aku berusaha untuk  tenggelam dengan kesibukan kuliahku yang tiap semesternya lebih menyusahkan dibandingkan semester awal. Ya, kuliah kedokteran tidaklah mudah. Organisasi yang kupegang juga menuntutku untuk bekerja lebih keras lagi. Dan acara kegiatan ekstrakulikuler yang kuambil, drama musical, akan segera dilaksanakan bulan depan. Artinya setiap hari aku harus latihan bersama anak-anak dramus non-stop. Tapi tetap saja, perasaan kosong tiba-tiba selalu terbersit dikala waktuku lenggang. Tak jarang pula kepalaku sering dihantui satu pertanyaan, “apakah semuanya harus begini?” pertanyaan itu yang selalu kuulang terus menerus dalam hati. Tak pernah ada suatu jawaban pasti, yang dipertanyakan juga hanya memberikan suatu jawaban yang menurutku menggantung.

Ku menyusuri koridor busway yang begitu panjang hingga sebuah busway mendapatiku tepat setelah aku sampai dihaltenya. Ku lirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 4 sore. Aku lapar, mungkin aku akan makan junk food saja. Sembari memikirkan restoran junk food yang akan kudatangi aku memilah-milah rute busway yang akan kutempuh. Akhirnya aku memilih daerah Sarinah, mungkin BK disana saja. Perjalanan dari harmoni ke Sarinah tidaklah lama, hanya 30 menit. Dan aku bisa menikmati junk food disini. Aku masih belum ingin pulang, ku putuskan untuk jalan-jalan sebentar ke PI.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku bertemu dengan Kevin. Hendak ku sapa dia, tapi langkahku terhenti melihat sesosok perempuan setinggiku bersanding dengannya. Perempuan itu halus, bak seorang model, cantik dan kelihatan smart. Kevin punya saudara perempuan, Kynar, dan aku mengenalnya. Dan perempuan yang didepan mataku sekarang bukanlah Kynar. ‘apakah itu pacarnya?’ tanyaku lirih, kecewa. Aku berpikir aku bisa kembali dengan Kevin suatu saat nanti, tapi ternyata tidak. Aku pernah menanyakan apakah hubungan kami bisa kembali seperti dulu, tapi sepertinya Kevin tidak ingin membahas hal itu lebih dalam lagi – yang artinya dia tidak ingin kembali padaku.

Aku tidak seperti perempuan yang ada disampingnya sekarang, yang begitu halus, cantik dan sexy. Aku tidak terlalu pandai dalam hal berbusana dan berdandan. Jika ku berdandan, aku hanya meminta  bantuan Maya, sepupuku, atau novi membantuku. Selebihnya adalah usahaku sendiri. Aku tidak berbusana cantik seperti perempuan ini. Tiba-tiba aku merasa jadi minder sendiri menatap mereka berdua. Mereka berdua tampak serasi. Aku ingin muntah. Bergegas ku pergi dari situ.

“ADUH” pekikku, “dasar bo..” makiku pelan  terhenti ketika menatap siapa yang barusan menabrakku.
‘astaga apakah aku bermimpi? Edgar?’ Rahang tirusnya terkatup rapat seperti ingin marah. Ia tampak rapi dengan balutan tuxedo hitam, dan harus ku akui Edgar memang tampan, ia memiliki wajah yang tirus dan putih, iris matanya berwarna coklat muda, rambut model cepak dan alis matanya tebal, tinggi dan atletis, pria idaman semua wanita yang berjumpa dengannya. Seandainya dia juga bisa menjadi Kevin yang menjadi pria idamanku. “..doh.” lanjutku. Dia menatapku sepintas kemudian pergi lagi. Sudah lama tidak berjumpa dengannya, mimik wajahnya terlihat sangat berbeda dibandingkan pertemuan pertama kami. Aku pun hampir melupakan kartu mahasiswaku yang dipegang olehnya, “astaga kartu mahasiswa!” pekikku pelan. Kemudian aku melanjutkan jalanku untuk keluar dari sini ketika kusadari Edgar telah hilang dibelakangku, aku sungguh lebih merasa tidak nyaman dengan keberadaan dua orang yang menurutku hadir disaat yang tidak tepat.

Seseorang menarik tanganku ketika aku hendak menyebrangi jalan ke trotoar dari PI menuju GI, dia menarikku masuk kembali ketempat yang bagiku begitu menyesakkan ini. Masih dalam tuxedo hitamnya, dia menarikku ke arah lift. Kelihatan setengah gelisah dia terus melirik jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan kiri sementara tangan kanannya tidak mau lepas dari tanganku padahal aku berusaha sebisa mungkin untuk lepas darinya. Entah mengapa hari ini aku tidak ingin berbicara ataupun berkomentar sepatah katapun dengan orang yang satu ini.

Lift terbuka dan apa yang kulihat? Kevin dengan kostum yang berbeda dari yang kulihat tadi dan pasangan modelnya dan seseorang yang sepertinya teman Kevin juga sedang mengobrol santai didalam.  Aku melambai kecil ke arah Kevin dan disapanya dengan senyuman hangatnya. Aku merasa damai dengan sikapnya ini walaupun tetap sakit dengan keberadaan seseorang disampingnya. Edgar masuk kedalam lift seperti tidak mengenal Kevin sebelumnya, memang mereka belum berkenalan secara langsung, dan menekan tombol F3. Merasa tidak nyaman, aku masih berusaha melepas genggaman tangan Edgar yang kudapati terus menerus dilihatin oleh Kevin dibalik ekor matanya.
Kami sampai duluan hingga kami harus berpisah disini, tak sempat aku menengok Kevin pintu liftnya sudah tertutup kembali. Aku masih geram dengan orang ini, apa yang akan dilakukannya? Dia memasuki sebuah butik dengan kotak etalase begitu besar berisikan 3 manekin dengan busana yang menurutku agak sedikit ‘wah’ yang sepertinya memang lebih cocok dikenakan oleh manekin dibandingkan oleh manusia.
“find me a white simple mini dress and heels for this girl, I want it to be chick, smart but sexy and don’t make me disappointed!” perintahnya ketus pada pramugari itu. Kali pertamanya aku melihat secara langsung konsep Edgar dalam mood kacaunya. Entahlah aku tak bisa membedakan kacau atau marahnya dia sekarang, lagipula aku tidak mengenalinya, ini pertemuan kami yang kedua setelah insiden jatuh pingsan dan kartu mahasiswa itu.
“aku tidak akan ikut dengan pramugari ini sebelum kau menjelaskan apa yang akan kau lakukan.” Ucapku akhirnya setelah bungkam 10 menit ini.
“find it” perintahnya lagi pada pramugari itu meninggalkan kami berdua.
Dia menepuk bahuku dan menatap wajahku lekat-lekat. “wajahmu bersih juga, tidak perlu terlalu banyak make-up, perfect!
“aku tidak peduli dengan kartu mahasiswa yang kau pegang, aku bisa membuat yang baru.”
Edgar mengeluarkan dompet dibalik tuxedonya, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dan memberikannya padaku. Kartu mahasiswaku. Setelah menunggu sepersekian detik tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya, aku keluar dari butik itu. Menyadari kepergianku Edgar menahan lenganku dan menatap telak ke kedua bola mataku seperti memohon.
“aku mohon tolonglah aku kali ini saja.” Tatapnya lirih.
“sir, the dress is ready to wear.” Kata seorang pramugari yang memecah keheningan diantara kami. Tanpa menoleh lagi aku mengikuti pramugari itu.
Aku mengambil dress yang diberikan oleh pramugari itu, betapa halusnya. Aku melihat pakaian yang aku gunakan sekarang, ‘astaga betapa dekilnya aku ini!’ pekikku.
“what do you think?” tanyaku pada pramugari itu.
“beautiful” jawabnya dengan wajah berseri-seri, entah untuk menyenangkan hatiku atau supaya dress dibutiknya ini laku atau apa, tapi memang demikian sangat cantik dress ini.
“how much”
“four point two”
“hah?”
“four millions and two hundreds” jelasnya tersenyum menyeringai. ‘what the hell is this! I’m not sure he will buy this one’ its time to show up, Edgar saw an angel!
Aku nyaris pingsan, kakiku lunglai ketika mendengar “get it” dari mulut orang ini dan ia langsung mengeluarkan credit cardnya menyerahkan pada pramugari tadi.
“apakah kau sudah gila? Gaun ini seharga 4.2juta! aku tidak tahu berapa harga sepatunya.”
“bodoh.” Makian yang terdengar sangat sarcastic menurutku diucapkan olehnya semenjak aku mengenalnya.  Aku menatap diriku sekali lagi didepan cermin, tapi sungguh dress ini tak sepadan denganku, aku merasa minder kembali.
“edgar, aku…” ucapku ketika dia berdiri disampingku.
“stop it. I have asked you to help me, and nobody will judge you.” Selanya menenangkanku, terlihat dia kembali damai sekarang.
“where are we going now?”
“bridal.” jawabnya dengan seuntas senyum disudut bibirnya. Bajuku dititipkan dibutik tadi dan aku akan mengambilnya segera. Ia melarangku untuk membawa tas yang berisi bajuku tadi. “tidak akan ada yang mengambilnya kalau dititipkan disini, kalau dibawa kemana-mana dan ketinggalan akan repot nantinya.” Begitulah alasannya.
***
“tetaplah dalam genggamanku selama pesta ini berlangsung, kamu tidak usah menjawab apapun yang ditanyakan biarkan aku yang akan menjawab semuanya.”

Grand Ballroom Mulya Hotel at 07.25pm

my goodness! Apakah ini yang disebut pesta bangsawan? Karena yang kulihat disini semuanya adalah kaum bangsawan! Mungkin hanya akulah yang berasal dari kaum renaissance.
Edgar mengambilkan 2 gelas sampanye yang ditawari oleh waitress.
“aku tidak bisa minum alcohol.”
“formalitas. Peganglah, aku tidak menyuruhmu untuk minum.” Dan aku pun mengambilnya.
“kalau boleh aku tahu, ini sebenarnya pesta apa?”
“nanti kamu akan tahu.”
Kenapa aku selalu diberi suatu jawaban dimana aku harus mencari tahunya sendiri.
“aku ingin ke toilet.”
“baiklah.”

Sesaat aku terlepas dari genggamannya, rasanya sesak berada dalam ruangan yang besar tapi dipadati dengan begitu banyak tamu undangan seperti ini. Aku lebih memilih dikerubuni anak-anak jalanan dibandingkan oleh mereka dan tempat seperti ini.

Aku berjalan mencari tulisan toilet atau gambar perempuan dengan rok, cukup jauh juga dari ruangan pesta. Percakapan kecil yang kutangkap di toilet ini, menafsirkan sebuah jawaban yang kucari barusan.
“syl, apakah kau melihat pasangannya hari ini?”
“belum, kenapa?” jawab suara yang lebih halus dari suara pertama tadi.
“tidak, hanya bertanya. Tadi aku sempat berkenalan dengannya, lumayan, tapi masih terlihat seperti anak-anak.”
“oh ya?” Tanya suara yang halus tadi seperti tidak yakin.
“apakah kau yakin dia yang akan menjadi tunangannya?”
Terdapat suatu jeda, perempuan yang bertanya itu tidak bisa menjawab. “entahlah, aku tidak yakin.”
“bukankah kamu yang harusnya menikah dengannya?” tanya seseorang lagi namun tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Ku menunggu di balik bilik toilet itu hingga langkah ketukkan heels mereka hilang dibalik pintu. Kemudian kudapati diriku kini sendirian didalam toilet dan kupandangi diriku saksama dibalik cermin, dibalut dengan sebuah white sleeveless mini dress, terlihat menawan seperti yang diharapkan Edgar, didandani menjadi seperti seorang putri, dan aku tidak tahu apa-apa.
“nah ini kau, akhirnya!” jawab Edgar lega seperti mendapatkan mainannya kembali. Ia menungguku didepan toilet dan bergegas menarik tanganku. “mereka sudah menunggu kita, ayo.” Katanya lagi terburu-buru.
“apakah aku…” aku berusaha bertanya dengan suaraku yang kian lama kian mengecil dibandingkan suara mic yang ada didepan kami. Walaupun tidak mengerti dengan percakapan kecil di toilet tadi, tapi aku bukanlah perempuan bodoh disini. Semenjak masuk ke pesta ini, semua orang menatap kami, ya aku dan Edgar. Banyak orang yang datang lalu lalang ketempat kami sekedar mengobrol dan memperkenalkan diriku sendiri. Aku tidak tahu apa itu, tapi acara ini pasti adalah acara yang penting bagi Edgar maupun bagi perempuan dengan suara halus tadi.
“….kami persembahkan Edgar Satria Oei, waktu dan tempat kami persilahkan.” Ucap seorang MC mempersilahkannya naik ke atas panggung hingga aku pun ikut terseret naik bersamanya.
Adrenalinku mengalir begitu deras, sampai aku pun bisa mendengar suara degup jantungku berdetak, nafasku sesak ingin pingsan tapi genggaman jemari Edgar yang kuat terus membuatku sadar untuk tetap berdiri mantap disampingnya. Aku tidak lagi mendengarkan apa yang diucapkannya, walaupun dia tepat berada disampingku. Aku sibuk menyelidiki setiap sudut orang yang bisa kulihat, tapi tak ada yang kukenal satupun. ‘siapa dia sebenarnya? Kenapa aku tidak tahu apapun tentang dia?’ ya jelas aku tidak mengenalnya, dia berbeda jurusan denganku, bahkan aku tidak mengetahui dia mengambil jurusan apa.
Semua orang bertepuk tangan, sepertinya akan turun. Aku menatap Edgar berharap ia segera turun dari panggung ini tapi dia balik menatapku dan menjulingkan matanya kearah tamu undangan. Aku kurang mengerti dan tiba-tiba saja aku langsung tersenyum menatap kearah tamu undangan. Aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, aku benar-benar ingin pingsan. Kenapa aku mau mengikuti permainan gila ini?!

Seorang gadis kecil membawakan kotak merah dikedua tangannya. Edgar membuka kotak itu dan mengambil cincin yang masih tersemat indah ditempatnya dan menyematkan dijari manis kananku. Dunia seakan-akan ingin runtuh. Aku belum ingin menikah! Dan sekarang giliranku menyematkan cincin itu dijarinya.

Setelah prosesi sacral itu selesai, semua tamu undangan tepuk tangan gembira atas pesta ini yang ternyata adalah pesta pertunangan seseorang bernama Edgar Satria Oei, pemuda tampan yang menggotongku sendirian ketika aku pingsan dari gedung I sampai ke poliklinik, membajak kartu mahasiswaku sampai sekarang, and I don’t know anymore, its too fast….
“jadi ini pilihanmu?” Tanya seorang wanita paruh baya dengan nada judes mengenakan kebaya putih yang mengkilap indah, menghampiri kami ketika kami telah turun dari atas panggung.
“iya oma.” Jawabnya mantap.
“namamu siapa?” Tanya nenek itu lebih halus menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Indah Andreana, oma.” Jawabku kemudian sungkeman ditangannya.
“masih kuliah? Tinggal dimana?” tanyanya lagi dengan nada lebih lembut lagi.
“iya oma, di daerah Grogol.”
“kamu anak daerah? Keluargamu kerja apa?”
“oma, oma janjikan tidak akan menyinggung soal latar belakang keluarganya.”
Oma menatap tajam kearahnya, menandakan beliau tidak suka pembicaraannya disela orang lain.
“iya, aku anak Manado. Mamahku usaha sendiri buka depot air isi ulang dan warung makan kecil.”
“depot air isi ulang?” Tanya oma dengan nada meyakinkan.
“i-iya oma” jawabku kemudian tertunduk malu.
Oma menghela nafas panjang sepertinya berusaha menerima kenyataan yang mungkin baginya pahit ini. “baiklah oma akan membicarakan hal ini dengan orang tuamu. Bagaimana dengan ayahmu?”
“mamah-papah pisah nek, aku dibawah asuhan mamahku. Kuliahku dibiayai oleh pihak keluarga papahku.”
“oh ya? Keluarga papahmu bisnis apa?”
“perusahaan minuman keras, disana terkenalnya Sari Cup.”
Oma manggut-manggut mengerti.
“apakah oma akan menceritakan hal ini pada orang tuaku?”
“tentu saja, ini adalah suatu hal besar, kita harus membicarakannya sebagai suatu keluarga besar juga.”
“tapi oma, bisakah aku yang membicarakan hal ini dengan mamah. Mamah mungkin akan berpikiran yang tidak-tidak tentang diriku jika mengetahui hal ini dari orang lain.”
“jadi orang tuamu belum tahu akan hal ini?”
Aku mengangguk pelan seakan-akan aku yang salah tidak memberitahukan hal sepenting ini kepada orang tua. Oma berpaling menatap tajam Edgar, matanya menyiratkan suatu pertanyaan besar ‘bagaimana mungkin hal sepenting ini tidak diketahui oleh orang tuanya?’ Aku kemudian menatap Edgar berusaha mencari bantuan, dan sepertinya dirinya sendiri juga sangat butuh bantuan jika ini sudah harus menyangkut orangtuaku.
Oma berpaling menatapku, memberikan senyum keibuannya, ‘apakah ada yang lucu? Itu benarkan, jika orang tuamu mendapatkan anaknya telah melaksanakan pertunangan itu menandakan anaknya telah MBA atau sejenisnya.’
“tenanglah, oma tidak akan membicarakan hal yang macam-macam.”
“tapi oma, kumohon. Aku takut pada mamahku.” Ucapku sungguh-sungguh. ‘sungguh aku lebih takut pada mamahku dibandingkan dengan setan!’
Oma tertawa lagi, “baiklah, baiklah, kamu yang akan membicarakan hal ini dengan mamahmu, bicarakanlah dengan baik supaya kamu juga mendapatkan restu dari mamahmu.”
Spontan aku langsung tersenyum sumringah oma membiarkan aku mengatakan langsung hal ini pada mamah. ‘astaga aku punya tugas yang berat sekarang.’
“sebaiknya kamu tinggal dirumahnya Edgar, ini sudah malam. Nanti saya akan menyuruh supir untuk mengantar kalian pulang.” Perintahnya.
Aku tidak tahu apakah ini mimpi atau kenyataan, tapi ketika aku mendapatkan suatu sensasi rasa sakit setelah aku mencubit tanganku, rasanya…. Ini bukan mimpi!
***

“maukah kau berdansa denganku?” terdengar suatu bisikan halus yang sangat familiar dibelakang telingaku. Aku berbalik mencari sosok yang berbisik itu.
“Kevin?” tanyaku kaget. “apa yang kau lakukan disini?” tanyaku lagi melepaskan minuman ringan yang kupegang daritadi, menunggu Edgar yang entah hilang kemana.
“harusnya aku yang bertanya, kenapa kau bisa menjadi tunangannya Edgar.”
“ehm itu…. Aku….” Jawabku terbata-bata.
“ada yang salah?”
“tentu saja tidak.” Jawabku mantap. “oh maksudku iya, ada sesuatu yang salah disini.” Jawabku gagap lagi.
Seperti biasa Kevin hanya memberikan senyum kecilnya lagi padaku. Hatiku nyaman bersamanya, tapi entah mengapa dia tidak demikian. Hari ini dia begitu gagah bak seorang pangeran berkuda putih datang untuk membangunkan sang putri yang telah tertidur sangat lama. Dongeng sleeping beauty sirna sekejap dalam sekali kedipan mata, aku berada dalam dunia nyata dan aku bukanlah putri yang akan dibangunkan oleh sang pangeran, Kevin.
“by the way, would you mind to dance with me?”
“I cant.” Desisku putus asa. “I cant dance.”
“oh just come, I will teach you somehow.” Bujuknya lagi dan tanpa basa basi meraih tangan kiriku mengajak ke tengah-tengah ruangan yang dijadikan sebagai dance floor.
“Kevin…” desisku lagi.
  
‘Everything by lifehouse’ menjadi backsound dansa kami berdua. Kevin meletakkan tangan kanannya yang begitu besar ke pinggangku yang kecil ini, menggenggam lembut jemari kiriku dan berdansa begitu halusnya. Aku berusaha mengikuti gerakannya tapi kadang kala aku tak sengaja menginjak kakinya. Bersandar dibawah dadanya yang besar, aku bisa mendengar detak jantungnya sayup-sayup dibalik tulang iganya dan nafasnya yang berhembus dirambutku.
‘You're all I want 
You're all I need
 
You're everything, everything’
Sebuah penggalan lagu yang sangat kuingat, ingin sekali penggalan lagu ini kuberikan pada Kevin. Ku menatap wajahnya yang bersinar dibalik temaram lampu yang sedikit diredupkan dan bulir-bulir kecil air mata pun berkumpul dipelupuk mata.
“apakah kau mencintainya?”
“huh?”
“Edgar, apakah kau benar-benar mencintainya?” Tanya Kevin lagi.
“apa maksudmu?”
“kalau kamu mencintainya, kamu tidak akan menangis seperti sekarang.”
“aku tidak menangis.”
“jangan berbohong padaku Indah, aku mengenalmu lebih dari siapapun.”
Aku terdiam seraya menunduk mendengar kata-katanya. Ketika Kevin mengucapkan nama depanku artinya dia serius dengan percakapan yang dia bicarakan.
“entahlah..”
“jangan bertindak bodoh! Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia.” Balasnya lagi masih dengan nada suara yang sama.
“apakah kau telah mengenalnya?” tanyaku menatap wajahnya langsung.
Kevin tak bergeming sedikitpun, dia berusaha mengalihkan pandangannya berpura-pura mengatur langkah kakinya.
“kenapa kau tidak mengatakannya padaku?” tanyaku keras.
“apakah kau ingin aku berbuat demikian?”
“tentu saja!” jawabku mantap. “tapi tidak usah, semuanya sudah terlambat, kau sudah dalam jalanmu sendiri.”
“jadi apakah kau menerima dia, dan tidak ingin aku merebutmu kembali?” desaknya dengan nada kecewa.
“bukan itu Kevin.” Jawabku. “dia akan terluka.” Jawabku lagi. Dadaku sesak ketika harus membayangkan kejadian tadi di PI dan didalam lift. Aku seperti berada dalam posisi ‘maju kena, mundur pun kena.’
“oh hahahaha, apakah kau memikirkan perempuan itu?” Tanya Kevin dengan tawa halusnya, menggodaiku.
Aku berpaling, tidak ingin menatap tatapan nakalnya Kevin. Aku akan menjadi seperti kepiting rebus jikalau dia berhasil menggodaiku.
“apakah kau cemburu?” tanyanya lagi masih dengan senyum nakalnya.
“hentikan Kevin.” Desakku tidak tahan.
“ok ok, itu sudah cukup, kau telah menjawab iya.” Katanya masih setengah tertawa, dia mendekapku lebih erat dalam pelukan dansanya. Entahlah orang-orang melihat kami seperti apa. Aku bukanlah Indah Andreana yang biasa lagi, aku adalah tunangan Edgar Oei. Mungkin aku beranggapan ini hanyalah main-main, tapi tidak dimata Oma, Kevin, dan orang lain.
“jangan sakiti dia.” Pintaku pelan.
“kenapa? Kenapa kau begitu memperdulikan dia?”
“aku dan dia sama-sama adalah seorang perempuan, dan aku tahu bagaimana rasanya tersakiti!” jawabku menatap matanya dalam, ingin kulihat apa yang dilihat dibalik bola matanya, tapi yang ada secercah sinar kecil yang ada disana, tidak ada aku. “dan aku tidak ingin kau memperlakukan dia seperti mainan.”
“sejak kapan kau begitu memperhatikan perasaan orang lain? Apakah kau ada sedikit pun memperhatikan  perasaanku? Apakah kau tahu betapa sakitnya ketika aku harus melepaskanmu? Apakah saat ini kau mengharapkanku untuk merebutmu kembali, ketika semuanya sudah seperti ini?
“JBLEP!” hatiku rasanya tertusuk mendengar pertanyaan yang menurutku juga pengakuannya. Aku terdiam beberapa saat. Cukup lama. Hanya menatap wajahnya yang kokoh itu tenggelam dalam kedua bola matanya. Kakinya masih lincah bergerak kesana kemari mengikuti irama yang sendu itu.
“maafkan aku, aku tidak bermaksud menyinggungmu.” Ujarnya lagi memecah keheningan diantara kami berdua.
“ok tenang saja, aku tidak apa-apa.”
“kau tidak mencintainya dan kau tidak tahu apa-apa tentang dia, kau akan terluka jika masuk dalam hubungan ini.” Jawab Kevin terdengar frustasi.
“setidaknya kami telah mencoba.” jawab seseorang ikut campur pembicaraan kami yang kian memanas. “Andrea telah memilih jalannya, jika memang dia akan tersakiti, dia akan tahu itu. Dan sekalipun aku, apalagi kau tidak berhak untuk menutup jalan yang selalu terbuka didepannya.”
Seketika aku melepaskan tanganku dari Kevin, layaknya seorang yang ketahuan mencuri aku tertunduk malu. “Edgar..” gumamku.
“apa hakmu berbicara seperti itu padaku?” aju Kevin gusar.
“dan apa hakmu menghakimi tunanganku?”
Percakapan kian memanas, mereka berdua saling bertatap-tatapan tajam, mungkin jika tidak dicegah mereka berdua akan saling adu tinju di dance floor. Dan aku tidak akan membiarkan mereka berdua mempermalukan diri ditempat umum seperti ini. Aku tahu Kevin tidak biasanya dipancing seperti ini. Kevin bukanlah tipe orang yang menerima kekalahan dengan begitu mudahnya. 
“sudahlah cukup, orang-orang menatap kita, apakah kalian tidak sadar itu?” desisku tajam. Beberapa pasang mata menatap kearah kami. Saling berbisik apa yang sedang terjadi disini, aku menarik tangan Edgar dan menghindari pusat tatapan mata itu meninggalkan Kevin disana yang mungkin masih terbujur kaku tidak percaya bahwa aku lebih memilih Edgar dibandingkan dia.
“aku tidak ingin memainkan permainanmu ini lagi!” kataku kasar ketika kami telah berada diluar ballroom. Beberapa orang lalu lalang disekitar kami, tapi dalam jarak kira-kira 5 meter.
“tidak semudah itu ndre, kita sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah.” Balasnya terdengar frustasi.
 “a-apa? Menikah? “ tanyaku memastikan. Kata ‘menikah’ agak sedikit mengerikan dalam kasusku saat ini.
“iya ndre, kita akan menikah.”
“t-tunggu dulu, tadi kau hanya memintaku untuk membantumu dan aku tidak tahu apa yang harus kubantu karena kamu tidak mau mengatakannya padaku. Dan ternyata bantuan dariku itu adalah menjadi tunanganmu dan sekarang kamu memintaku untuk menikah denganmu?” tanyaku sambil menjelaskan panjang lebar. Aku begitu frustasi dengan semua ini. “apakah kau sudah gila? Pernikahan itu adalah suatu hal yang sacral! Dan aku tidak akan main-main dengan hal ini!” kataku setengah gelisah, kemudian kembali ke ballroom meninggalkan sepasang mata menatapku begitu nanar.
“Oma!” pekikku terkejut.
“apa yang sedang kalian perbincangkan?” Tanya beliau.
‘Mungkin ini saat yang tepat sebelum semuanya menjadi lebih berantakan.’ batinku
“oma, maafkan aku, aku….”
“apakah kau akan melukai hati oma skarang?” bisik Edgar dibelakangku kemudian berdiri sigap disampingku.
“maaf kenapa andrea?”
Aku menatap nanar wajah Edgar, ingin sekali aku meneriakinya. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi kenapa ketika dia berkata seperti itu keberanian yang muncul seperti nyala api kini lenyap sudah?
“andrea tidak siap dengan pertunangan yang oma adakan, memang aku yang salah karna aku tidak menjelaskan bahwa hari ini adalah hari pertunanganku.” Jelas Edgar. “dan andrea lebih tidak siap lagi jika oma akan mengadakan pernikahan dalam waktu dekat.” Tambahnya lagi kemudian menatapku dan tersenyum begitu polos. Aku tahu dia membantuku, tapi bukan begini caranya.
“kenapa? Jika sudah bertunangan, pernikahan harus ditentukan secepatnya bukan?”
“tidak oma, oma juga harus mempertimbangkan orang tuanya, dan juga kuliahnya.” katanya. “oma, andrea kuliah kedokteran, dan ini bukanlah pelajaran sembarangan.” jelasnya dengan nada sedikit mengancam. “aku akan menunggu sampai andrea selesai kuliah dan juga sampai dia siap untuk menikah denganku.”
“terlalu lama Oei junior!” tantang nenek tidak mau menyerah. Oma juga tahu dengan orang tuamu dan kuliahmu, tapi..”
“Oma! Bisakah oma untuk menghargai keputusanku kali ini saja? Selama ini aku patuh pada setiap perkataan oma, dan sampai hari ini aku mengikuti perintah oma untuk bertunangan dengan siapapun yang akan oma pilih sampai aku bisa membawakan seorang calon yang sesuai criteria oma. Apakah oma harus mengatur seluruh kehidupan pribadiku?”
“Edgar!” desisku tajam. Tega sekali kau berbicara seperti itu. Oma termenung sesaat, mungkin merenungi apa yang telah dilakukannya selama hidup Edgar sampai saat ini, tapi tetap saja ia tidak berhak untuk berbicara seperti itu pada oma.
“baiklah. Sampai andrea selesai kuliah.” Jawab oma menyerah.
“dan sampai dia siap untuk menikah denganku.” Tambah Edgar lagi.
“tentu saja dia sudah akan siap untuk menikah denganmu. Iya kan sayang?” balas oma dengan senyum nakal disudut bibirnya.
“hahahaha.” aku hanya bisa tertawa kecil berjalan mengikuti langkah oma masuk kembali ke ballroom.


No comments:

Post a Comment

Glad to have you here :)

CLICK FOR MONEY!

FellowEquality.com