Kuliahku semakin padat semester
ini ternyata break itu ada gunanya
juga. Aku sudah lama tak keliling naik busway, aku ingin mengisi hariku serta
merta hatiku yang kosong untuk terisi kembali dengan sesuatu yang hidup lagi
dari luar sana. Enam bulan sudah hubunganku berakhir, cinta pertamaku, kekasih
pertamaku. Hilang. Entah karena aku yang begitu bodoh, atau tidak tahu
bagaimana caranya berpacaran. Entahlah. Kevin adalah cinta pertamaku, dan itu
tak ‘kan bisa tergantikan oleh siapapun. Dua tahun bukan waktu yang singkat.
Dan kami terlalu banyak kenangan untuk dipendam mendalam. Banyak hal, cerita,
tempat dan suasana yang kerap kali mengingatkanku akan dia. Apakah dia juga
merasakan hal yang sama? Aku makin terpuruk sendiri dengan duniaku, aku
berusaha untuk tenggelam dengan
kesibukan kuliahku yang tiap semesternya lebih menyusahkan dibandingkan
semester awal. Ya, kuliah kedokteran tidaklah mudah. Organisasi yang kupegang
juga menuntutku untuk bekerja lebih keras lagi. Dan acara kegiatan
ekstrakulikuler yang kuambil, drama musical, akan segera dilaksanakan bulan
depan. Artinya setiap hari aku harus latihan bersama anak-anak dramus non-stop.
Tapi tetap saja, perasaan kosong tiba-tiba selalu terbersit dikala waktuku
lenggang. Tak jarang pula kepalaku sering dihantui satu pertanyaan, “apakah semuanya harus begini?” pertanyaan
itu yang selalu kuulang terus menerus dalam hati. Tak pernah ada suatu jawaban
pasti, yang dipertanyakan juga hanya memberikan suatu jawaban yang menurutku menggantung.
Ku menyusuri koridor busway yang
begitu panjang hingga sebuah busway mendapatiku tepat setelah aku sampai
dihaltenya. Ku lirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 4 sore. Aku lapar,
mungkin aku akan makan junk food
saja. Sembari memikirkan restoran junk
food yang akan kudatangi aku memilah-milah rute busway yang akan kutempuh.
Akhirnya aku memilih daerah Sarinah, mungkin BK disana saja. Perjalanan dari
harmoni ke Sarinah tidaklah lama, hanya 30 menit. Dan aku bisa menikmati junk
food disini. Aku masih belum ingin pulang, ku putuskan untuk jalan-jalan
sebentar ke PI.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku
bertemu dengan Kevin. Hendak ku sapa dia, tapi langkahku terhenti melihat
sesosok perempuan setinggiku bersanding dengannya. Perempuan itu halus, bak
seorang model, cantik dan kelihatan smart.
Kevin punya saudara perempuan, Kynar, dan aku mengenalnya. Dan perempuan
yang didepan mataku sekarang bukanlah Kynar. ‘apakah itu pacarnya?’ tanyaku
lirih, kecewa. Aku berpikir aku bisa kembali dengan Kevin suatu saat nanti,
tapi ternyata tidak. Aku pernah menanyakan apakah hubungan kami bisa kembali
seperti dulu, tapi sepertinya Kevin tidak ingin membahas hal itu lebih dalam
lagi – yang artinya dia tidak ingin kembali padaku.
Aku tidak seperti perempuan yang
ada disampingnya sekarang, yang begitu halus, cantik dan sexy. Aku tidak
terlalu pandai dalam hal berbusana dan berdandan. Jika ku berdandan, aku hanya
meminta bantuan Maya, sepupuku, atau
novi membantuku. Selebihnya adalah usahaku sendiri. Aku tidak berbusana cantik
seperti perempuan ini. Tiba-tiba aku merasa jadi minder sendiri menatap mereka
berdua. Mereka berdua tampak serasi. Aku ingin muntah. Bergegas ku pergi dari
situ.
“ADUH” pekikku, “dasar bo..” makiku pelan terhenti ketika menatap siapa yang barusan menabrakku.
‘astaga apakah aku bermimpi?
Edgar?’ Rahang tirusnya terkatup rapat seperti ingin marah. Ia tampak rapi
dengan balutan tuxedo hitam, dan harus ku akui Edgar memang tampan, ia memiliki
wajah yang tirus dan putih, iris matanya berwarna coklat muda, rambut model
cepak dan alis matanya tebal, tinggi dan atletis, pria idaman semua wanita yang
berjumpa dengannya. Seandainya dia juga bisa menjadi Kevin yang menjadi pria
idamanku. “..doh.” lanjutku. Dia menatapku sepintas kemudian pergi lagi. Sudah
lama tidak berjumpa dengannya, mimik wajahnya terlihat sangat berbeda
dibandingkan pertemuan pertama kami. Aku pun hampir melupakan kartu mahasiswaku
yang dipegang olehnya, “astaga kartu mahasiswa!” pekikku pelan. Kemudian aku
melanjutkan jalanku untuk keluar dari sini ketika kusadari Edgar telah hilang
dibelakangku, aku sungguh lebih merasa tidak nyaman dengan keberadaan dua orang
yang menurutku hadir disaat yang tidak tepat.
Seseorang menarik tanganku ketika
aku hendak menyebrangi jalan ke trotoar dari PI menuju GI, dia menarikku masuk kembali
ketempat yang bagiku begitu menyesakkan ini. Masih dalam tuxedo hitamnya, dia
menarikku ke arah lift. Kelihatan setengah gelisah dia terus melirik jam
tangannya yang melingkar di pergelangan tangan kiri sementara tangan kanannya
tidak mau lepas dari tanganku padahal aku berusaha sebisa mungkin untuk lepas
darinya. Entah mengapa hari ini aku tidak ingin berbicara ataupun berkomentar
sepatah katapun dengan orang yang satu ini.
Lift terbuka dan apa yang
kulihat? Kevin dengan kostum yang berbeda dari yang kulihat tadi dan pasangan
modelnya dan seseorang yang sepertinya teman Kevin juga sedang mengobrol santai
didalam. Aku melambai kecil ke arah
Kevin dan disapanya dengan senyuman hangatnya. Aku merasa damai dengan sikapnya
ini walaupun tetap sakit dengan keberadaan seseorang disampingnya. Edgar masuk
kedalam lift seperti tidak mengenal Kevin sebelumnya, memang mereka belum
berkenalan secara langsung, dan menekan tombol F3. Merasa tidak nyaman, aku
masih berusaha melepas genggaman tangan Edgar yang kudapati terus menerus
dilihatin oleh Kevin dibalik ekor matanya.
Kami sampai duluan hingga kami
harus berpisah disini, tak sempat aku menengok Kevin pintu liftnya sudah
tertutup kembali. Aku masih geram dengan orang ini, apa yang akan dilakukannya?
Dia memasuki sebuah butik dengan kotak etalase begitu besar berisikan 3 manekin
dengan busana yang menurutku agak sedikit ‘wah’ yang sepertinya memang lebih
cocok dikenakan oleh manekin dibandingkan oleh manusia.
“find me a white simple mini dress and heels for this girl, I want it to be chick, smart but sexy and
don’t make me disappointed!” perintahnya ketus pada pramugari itu. Kali
pertamanya aku melihat secara langsung konsep Edgar dalam mood kacaunya. Entahlah aku tak bisa membedakan kacau atau marahnya
dia sekarang, lagipula aku tidak mengenalinya, ini pertemuan kami yang kedua
setelah insiden jatuh pingsan dan kartu mahasiswa itu.
“aku tidak akan ikut dengan
pramugari ini sebelum kau menjelaskan apa yang akan kau lakukan.” Ucapku
akhirnya setelah bungkam 10 menit ini.
“find it” perintahnya lagi pada pramugari itu meninggalkan kami
berdua.
Dia menepuk bahuku dan menatap
wajahku lekat-lekat. “wajahmu bersih juga, tidak perlu terlalu banyak make-up, perfect!”
“aku tidak peduli dengan kartu
mahasiswa yang kau pegang, aku bisa membuat yang baru.”
Edgar mengeluarkan dompet dibalik
tuxedonya, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dan memberikannya padaku. Kartu
mahasiswaku. Setelah menunggu sepersekian detik tak ada satu katapun yang
keluar dari mulutnya, aku keluar dari butik itu. Menyadari kepergianku Edgar menahan
lenganku dan menatap telak ke kedua bola mataku seperti memohon.
“aku mohon
tolonglah aku kali ini saja.” Tatapnya lirih.
“sir, the dress is ready to wear.” Kata seorang pramugari yang
memecah keheningan diantara kami. Tanpa menoleh lagi aku mengikuti pramugari
itu.
Aku mengambil dress yang
diberikan oleh pramugari itu, betapa halusnya. Aku melihat pakaian yang aku
gunakan sekarang, ‘astaga betapa dekilnya aku ini!’ pekikku.
“what do you think?” tanyaku pada pramugari itu.
“beautiful” jawabnya dengan wajah berseri-seri, entah untuk
menyenangkan hatiku atau supaya dress dibutiknya ini laku atau apa, tapi memang
demikian sangat cantik dress ini.
“how much”
“four point two”
“hah?”
“four millions and two hundreds” jelasnya tersenyum menyeringai. ‘what the hell is this! I’m not sure he will
buy this one’ its time to show up, Edgar saw an angel!
Aku nyaris pingsan, kakiku
lunglai ketika mendengar “get it”
dari mulut orang ini dan ia langsung mengeluarkan credit cardnya menyerahkan
pada pramugari tadi.
“apakah kau sudah gila? Gaun ini
seharga 4.2juta! aku tidak tahu berapa harga sepatunya.”
“bodoh.” Makian yang terdengar
sangat sarcastic menurutku diucapkan olehnya semenjak aku mengenalnya. Aku menatap diriku sekali lagi didepan
cermin, tapi sungguh dress ini tak sepadan denganku, aku merasa minder kembali.
“edgar, aku…” ucapku ketika dia
berdiri disampingku.
“stop it. I have asked you to help me, and nobody will judge you.” Selanya
menenangkanku, terlihat dia kembali damai sekarang.
“where are we going now?”
“bridal.” jawabnya dengan seuntas senyum disudut bibirnya. Bajuku
dititipkan dibutik tadi dan aku akan mengambilnya segera. Ia melarangku untuk
membawa tas yang berisi bajuku tadi. “tidak akan ada yang mengambilnya kalau
dititipkan disini, kalau dibawa kemana-mana dan ketinggalan akan repot
nantinya.” Begitulah alasannya.
***
“tetaplah dalam genggamanku
selama pesta ini berlangsung, kamu tidak usah menjawab apapun yang ditanyakan
biarkan aku yang akan menjawab semuanya.”
Grand Ballroom Mulya Hotel at 07.25pm
‘my goodness! Apakah ini yang disebut pesta bangsawan? Karena yang
kulihat disini semuanya adalah kaum bangsawan! Mungkin hanya akulah yang
berasal dari kaum renaissance.
Edgar mengambilkan 2 gelas
sampanye yang ditawari oleh waitress.
“aku tidak bisa minum alcohol.”
“formalitas. Peganglah, aku tidak
menyuruhmu untuk minum.” Dan aku pun mengambilnya.
“kalau boleh aku tahu, ini
sebenarnya pesta apa?”
“nanti kamu akan tahu.”
Kenapa aku selalu diberi suatu
jawaban dimana aku harus mencari tahunya sendiri.
“aku ingin ke toilet.”
“baiklah.”
Sesaat aku terlepas dari
genggamannya, rasanya sesak berada dalam ruangan yang besar tapi dipadati
dengan begitu banyak tamu undangan seperti ini. Aku lebih memilih dikerubuni
anak-anak jalanan dibandingkan oleh mereka dan tempat seperti ini.
Aku berjalan mencari tulisan
toilet atau gambar perempuan dengan rok, cukup jauh juga dari ruangan pesta.
Percakapan kecil yang kutangkap di toilet ini, menafsirkan sebuah jawaban yang
kucari barusan.
“syl, apakah kau melihat pasangannya hari ini?”
“belum, kenapa?” jawab suara yang
lebih halus dari suara pertama tadi.
“tidak, hanya bertanya. Tadi aku
sempat berkenalan dengannya, lumayan, tapi masih terlihat seperti anak-anak.”
“oh ya?” Tanya suara yang halus
tadi seperti tidak yakin.
“apakah kau yakin dia yang akan
menjadi tunangannya?”
Terdapat suatu jeda, perempuan
yang bertanya itu tidak bisa menjawab. “entahlah, aku tidak yakin.”
“bukankah kamu yang harusnya
menikah dengannya?” tanya seseorang lagi namun tidak ada yang menjawab
pertanyaan itu. Ku menunggu di balik bilik toilet itu hingga langkah ketukkan heels mereka hilang dibalik pintu.
Kemudian kudapati diriku kini sendirian didalam toilet dan kupandangi diriku
saksama dibalik cermin, dibalut dengan sebuah white sleeveless mini dress, terlihat menawan seperti yang
diharapkan Edgar, didandani menjadi seperti seorang putri, dan aku tidak tahu
apa-apa.
“nah ini kau, akhirnya!” jawab
Edgar lega seperti mendapatkan mainannya kembali. Ia menungguku didepan toilet
dan bergegas menarik tanganku. “mereka sudah menunggu kita, ayo.” Katanya lagi
terburu-buru.
“apakah aku…” aku berusaha
bertanya dengan suaraku yang kian lama kian mengecil dibandingkan suara mic
yang ada didepan kami. Walaupun tidak mengerti dengan percakapan kecil di
toilet tadi, tapi aku bukanlah perempuan bodoh disini. Semenjak masuk ke pesta
ini, semua orang menatap kami, ya aku dan Edgar. Banyak orang yang datang lalu
lalang ketempat kami sekedar mengobrol dan memperkenalkan diriku sendiri. Aku
tidak tahu apa itu, tapi acara ini pasti adalah acara yang penting bagi Edgar
maupun bagi perempuan dengan suara halus tadi.
“….kami persembahkan Edgar Satria
Oei, waktu dan tempat kami persilahkan.” Ucap seorang MC mempersilahkannya naik
ke atas panggung hingga aku pun ikut terseret naik bersamanya.
Adrenalinku mengalir begitu
deras, sampai aku pun bisa mendengar suara degup jantungku berdetak, nafasku
sesak ingin pingsan tapi genggaman jemari Edgar yang kuat terus membuatku sadar
untuk tetap berdiri mantap disampingnya. Aku tidak lagi mendengarkan apa yang
diucapkannya, walaupun dia tepat berada disampingku. Aku sibuk menyelidiki
setiap sudut orang yang bisa kulihat, tapi tak ada yang kukenal satupun. ‘siapa
dia sebenarnya? Kenapa aku tidak tahu apapun tentang dia?’ ya jelas aku tidak
mengenalnya, dia berbeda jurusan denganku, bahkan aku tidak mengetahui dia
mengambil jurusan apa.
Semua orang bertepuk tangan,
sepertinya akan turun. Aku menatap Edgar berharap ia segera turun dari panggung
ini tapi dia balik menatapku dan menjulingkan matanya kearah tamu undangan. Aku
kurang mengerti dan tiba-tiba saja aku langsung tersenyum menatap kearah tamu
undangan. Aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, aku benar-benar ingin
pingsan. Kenapa aku mau mengikuti permainan gila ini?!
Seorang gadis kecil membawakan
kotak merah dikedua tangannya. Edgar membuka kotak itu dan mengambil cincin
yang masih tersemat indah ditempatnya dan menyematkan dijari manis kananku.
Dunia seakan-akan ingin runtuh. Aku belum ingin menikah! Dan sekarang giliranku
menyematkan cincin itu dijarinya.
Setelah prosesi sacral itu
selesai, semua tamu undangan tepuk tangan gembira atas pesta ini yang ternyata
adalah pesta pertunangan seseorang bernama Edgar Satria Oei, pemuda tampan yang
menggotongku sendirian ketika aku pingsan dari gedung I sampai ke poliklinik,
membajak kartu mahasiswaku sampai sekarang, and
I don’t know anymore, its too fast….
“jadi ini pilihanmu?” Tanya
seorang wanita paruh baya dengan nada judes mengenakan kebaya putih yang
mengkilap indah, menghampiri kami ketika kami telah turun dari atas panggung.
“iya oma.” Jawabnya mantap.
“namamu siapa?” Tanya nenek itu
lebih halus menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Indah Andreana, oma.” Jawabku
kemudian sungkeman ditangannya.
“masih kuliah? Tinggal dimana?”
tanyanya lagi dengan nada lebih lembut lagi.
“iya oma, di daerah Grogol.”
“kamu anak daerah? Keluargamu
kerja apa?”
“oma, oma janjikan tidak akan
menyinggung soal latar belakang keluarganya.”
Oma menatap tajam kearahnya,
menandakan beliau tidak suka pembicaraannya disela orang lain.
“iya, aku anak Manado. Mamahku
usaha sendiri buka depot air isi ulang dan warung makan kecil.”
“depot air isi ulang?” Tanya oma
dengan nada meyakinkan.
“i-iya oma” jawabku kemudian
tertunduk malu.
Oma menghela nafas panjang
sepertinya berusaha menerima kenyataan yang mungkin baginya pahit ini. “baiklah
oma akan membicarakan hal ini dengan orang tuamu. Bagaimana dengan ayahmu?”
“mamah-papah pisah nek, aku
dibawah asuhan mamahku. Kuliahku dibiayai oleh pihak keluarga papahku.”
“oh ya? Keluarga papahmu bisnis
apa?”
“perusahaan minuman keras, disana
terkenalnya Sari Cup.”
Oma manggut-manggut mengerti.
“apakah oma akan menceritakan hal
ini pada orang tuaku?”
“tentu saja, ini adalah suatu hal
besar, kita harus membicarakannya sebagai suatu keluarga besar juga.”
“tapi oma, bisakah aku yang
membicarakan hal ini dengan mamah. Mamah mungkin akan berpikiran yang
tidak-tidak tentang diriku jika mengetahui hal ini dari orang lain.”
“jadi orang tuamu belum tahu akan
hal ini?”
Aku mengangguk pelan seakan-akan
aku yang salah tidak memberitahukan hal sepenting ini kepada orang tua. Oma berpaling
menatap tajam Edgar, matanya menyiratkan suatu pertanyaan besar ‘bagaimana
mungkin hal sepenting ini tidak diketahui oleh orang tuanya?’ Aku kemudian
menatap Edgar berusaha mencari bantuan, dan sepertinya dirinya sendiri juga
sangat butuh bantuan jika ini sudah harus menyangkut orangtuaku.
Oma berpaling menatapku,
memberikan senyum keibuannya, ‘apakah ada yang lucu? Itu benarkan, jika orang
tuamu mendapatkan anaknya telah melaksanakan pertunangan itu menandakan anaknya
telah MBA atau sejenisnya.’
“tenanglah, oma tidak akan
membicarakan hal yang macam-macam.”
“tapi oma, kumohon. Aku takut
pada mamahku.” Ucapku sungguh-sungguh. ‘sungguh aku lebih takut pada mamahku dibandingkan
dengan setan!’
Oma tertawa lagi, “baiklah, baiklah,
kamu yang akan membicarakan hal ini dengan mamahmu, bicarakanlah dengan baik
supaya kamu juga mendapatkan restu dari mamahmu.”
Spontan aku langsung tersenyum
sumringah oma membiarkan aku mengatakan langsung hal ini pada mamah. ‘astaga
aku punya tugas yang berat sekarang.’
“sebaiknya kamu tinggal
dirumahnya Edgar, ini sudah malam. Nanti saya akan menyuruh supir untuk
mengantar kalian pulang.” Perintahnya.
Aku tidak tahu apakah ini mimpi
atau kenyataan, tapi ketika aku mendapatkan suatu sensasi rasa sakit setelah
aku mencubit tanganku, rasanya…. Ini bukan mimpi!
***
“maukah kau berdansa denganku?”
terdengar suatu bisikan halus yang sangat familiar dibelakang telingaku. Aku
berbalik mencari sosok yang berbisik itu.
“Kevin?” tanyaku kaget. “apa yang
kau lakukan disini?” tanyaku lagi melepaskan minuman ringan yang kupegang
daritadi, menunggu Edgar yang entah hilang kemana.
“harusnya aku yang bertanya,
kenapa kau bisa menjadi tunangannya Edgar.”
“ehm itu…. Aku….” Jawabku
terbata-bata.
“ada yang salah?”
“tentu saja tidak.” Jawabku
mantap. “oh maksudku iya, ada sesuatu yang salah disini.” Jawabku gagap lagi.
Seperti biasa Kevin hanya
memberikan senyum kecilnya lagi padaku. Hatiku nyaman bersamanya, tapi entah
mengapa dia tidak demikian. Hari ini dia begitu gagah bak seorang pangeran
berkuda putih datang untuk membangunkan sang putri yang telah tertidur sangat
lama. Dongeng sleeping beauty sirna sekejap dalam sekali kedipan mata, aku
berada dalam dunia nyata dan aku bukanlah putri yang akan dibangunkan oleh sang
pangeran, Kevin.
“by the way, would you mind to dance with me?”
“I cant.” Desisku putus asa. “I
cant dance.”
“oh just come, I will teach you somehow.” Bujuknya lagi dan tanpa
basa basi meraih tangan kiriku mengajak ke tengah-tengah ruangan yang dijadikan
sebagai dance floor.
“Kevin…” desisku lagi.
‘Everything by lifehouse’
menjadi backsound dansa kami berdua.
Kevin meletakkan tangan kanannya yang begitu besar ke pinggangku yang kecil
ini, menggenggam lembut jemari kiriku dan berdansa begitu halusnya. Aku
berusaha mengikuti gerakannya tapi kadang kala aku tak sengaja menginjak
kakinya. Bersandar dibawah dadanya yang besar, aku bisa mendengar detak
jantungnya sayup-sayup dibalik tulang iganya dan nafasnya yang berhembus
dirambutku.
‘You're all I want
You're all I need
You're everything, everything’
You're all I need
You're everything, everything’
Sebuah penggalan lagu yang sangat
kuingat, ingin sekali penggalan lagu ini kuberikan pada Kevin. Ku menatap
wajahnya yang bersinar dibalik temaram lampu yang sedikit diredupkan dan
bulir-bulir kecil air mata pun berkumpul dipelupuk mata.
“apakah kau mencintainya?”
“huh?”
“Edgar, apakah kau benar-benar
mencintainya?” Tanya Kevin lagi.
“apa maksudmu?”
“kalau kamu mencintainya, kamu
tidak akan menangis seperti sekarang.”
“aku tidak menangis.”
“jangan berbohong padaku Indah,
aku mengenalmu lebih dari siapapun.”
Aku terdiam seraya menunduk
mendengar kata-katanya. Ketika Kevin mengucapkan nama depanku artinya dia
serius dengan percakapan yang dia bicarakan.
“entahlah..”
“jangan bertindak bodoh! Kamu
tidak tahu apa-apa tentang dia.” Balasnya lagi masih dengan nada suara yang
sama.
“apakah kau telah mengenalnya?”
tanyaku menatap wajahnya langsung.
Kevin tak bergeming sedikitpun,
dia berusaha mengalihkan pandangannya berpura-pura mengatur langkah kakinya.
“kenapa kau tidak mengatakannya
padaku?” tanyaku keras.
“apakah kau ingin aku berbuat
demikian?”
“tentu saja!” jawabku mantap.
“tapi tidak usah, semuanya sudah terlambat, kau sudah dalam jalanmu sendiri.”
“jadi apakah kau menerima dia,
dan tidak ingin aku merebutmu kembali?” desaknya dengan nada kecewa.
“bukan itu Kevin.” Jawabku. “dia akan terluka.” Jawabku lagi. Dadaku
sesak ketika harus membayangkan kejadian tadi di PI dan didalam lift. Aku
seperti berada dalam posisi ‘maju kena, mundur pun kena.’
“oh hahahaha, apakah kau
memikirkan perempuan itu?” Tanya Kevin dengan tawa halusnya, menggodaiku.
Aku berpaling, tidak ingin
menatap tatapan nakalnya Kevin. Aku akan menjadi seperti kepiting rebus jikalau
dia berhasil menggodaiku.
“apakah kau cemburu?” tanyanya
lagi masih dengan senyum nakalnya.
“hentikan Kevin.” Desakku tidak
tahan.
“ok ok, itu sudah cukup, kau
telah menjawab iya.” Katanya masih setengah tertawa, dia mendekapku lebih erat
dalam pelukan dansanya. Entahlah orang-orang melihat kami seperti apa. Aku
bukanlah Indah Andreana yang biasa lagi, aku adalah tunangan Edgar Oei. Mungkin
aku beranggapan ini hanyalah main-main, tapi tidak dimata Oma, Kevin, dan orang
lain.
“jangan sakiti dia.” Pintaku pelan.
“kenapa? Kenapa kau begitu
memperdulikan dia?”
“aku dan dia sama-sama adalah
seorang perempuan, dan aku tahu bagaimana rasanya tersakiti!” jawabku menatap
matanya dalam, ingin kulihat apa yang dilihat dibalik bola matanya, tapi yang
ada secercah sinar kecil yang ada disana, tidak ada aku. “dan aku tidak ingin
kau memperlakukan dia seperti mainan.”
“sejak kapan kau begitu
memperhatikan perasaan orang lain? Apakah kau ada sedikit pun
memperhatikan perasaanku? Apakah kau
tahu betapa sakitnya ketika aku harus melepaskanmu? Apakah saat ini kau
mengharapkanku untuk merebutmu kembali, ketika semuanya sudah seperti ini?
“JBLEP!” hatiku rasanya tertusuk
mendengar pertanyaan yang menurutku juga pengakuannya. Aku terdiam beberapa
saat. Cukup lama. Hanya menatap wajahnya yang kokoh itu tenggelam dalam kedua
bola matanya. Kakinya masih lincah bergerak kesana kemari mengikuti irama yang
sendu itu.
“maafkan aku, aku tidak bermaksud
menyinggungmu.” Ujarnya lagi memecah keheningan diantara kami berdua.
“ok tenang saja, aku tidak
apa-apa.”
“kau tidak mencintainya dan kau
tidak tahu apa-apa tentang dia, kau akan terluka jika masuk dalam hubungan ini.”
Jawab Kevin terdengar frustasi.
“setidaknya kami telah mencoba.” jawab
seseorang ikut campur pembicaraan kami yang kian memanas. “Andrea telah memilih
jalannya, jika memang dia akan tersakiti, dia akan tahu itu. Dan sekalipun aku,
apalagi kau tidak berhak untuk menutup jalan yang selalu terbuka didepannya.”
Seketika aku melepaskan tanganku
dari Kevin, layaknya seorang yang ketahuan mencuri aku tertunduk malu. “Edgar..”
gumamku.
“apa hakmu berbicara seperti itu
padaku?” aju Kevin gusar.
“dan apa hakmu menghakimi tunanganku?”
Percakapan kian memanas, mereka
berdua saling bertatap-tatapan tajam, mungkin jika tidak dicegah mereka berdua
akan saling adu tinju di dance floor.
Dan aku tidak akan membiarkan mereka berdua mempermalukan diri ditempat umum
seperti ini. Aku tahu Kevin tidak biasanya dipancing seperti ini. Kevin
bukanlah tipe orang yang menerima kekalahan dengan begitu mudahnya.
“sudahlah cukup, orang-orang
menatap kita, apakah kalian tidak sadar itu?” desisku tajam. Beberapa pasang
mata menatap kearah kami. Saling berbisik apa yang sedang terjadi disini, aku
menarik tangan Edgar dan menghindari pusat tatapan mata itu meninggalkan Kevin
disana yang mungkin masih terbujur kaku tidak percaya bahwa aku lebih memilih
Edgar dibandingkan dia.
“aku tidak ingin memainkan
permainanmu ini lagi!” kataku kasar ketika kami telah berada diluar ballroom.
Beberapa orang lalu lalang disekitar kami, tapi dalam jarak kira-kira 5 meter.
“tidak semudah itu ndre, kita
sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah.” Balasnya terdengar frustasi.
“a-apa? Menikah?
“ tanyaku memastikan. Kata ‘menikah’
agak sedikit mengerikan dalam kasusku saat ini.
“iya ndre, kita akan menikah.”
“t-tunggu dulu, tadi kau hanya
memintaku untuk membantumu dan aku tidak tahu apa yang harus kubantu karena
kamu tidak mau mengatakannya padaku. Dan ternyata bantuan dariku itu adalah
menjadi tunanganmu dan sekarang kamu memintaku untuk menikah denganmu?” tanyaku
sambil menjelaskan panjang lebar. Aku begitu frustasi dengan semua ini. “apakah
kau sudah gila? Pernikahan itu adalah suatu hal yang sacral! Dan aku tidak akan
main-main dengan hal ini!” kataku setengah gelisah, kemudian kembali ke
ballroom meninggalkan sepasang mata menatapku begitu nanar.
“Oma!” pekikku terkejut.
“apa yang sedang kalian
perbincangkan?” Tanya beliau.
‘Mungkin ini saat yang tepat
sebelum semuanya menjadi lebih berantakan.’ batinku
“oma, maafkan aku, aku….”
“apakah kau akan melukai hati oma
skarang?” bisik Edgar dibelakangku kemudian berdiri sigap disampingku.
“maaf kenapa andrea?”
Aku menatap nanar wajah Edgar,
ingin sekali aku meneriakinya. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi
kenapa ketika dia berkata seperti itu keberanian yang muncul seperti nyala api
kini lenyap sudah?
“andrea tidak siap dengan
pertunangan yang oma adakan, memang aku yang salah karna aku tidak menjelaskan
bahwa hari ini adalah hari pertunanganku.” Jelas Edgar. “dan andrea lebih tidak
siap lagi jika oma akan mengadakan pernikahan dalam waktu dekat.” Tambahnya
lagi kemudian menatapku dan tersenyum begitu polos. Aku tahu dia membantuku,
tapi bukan begini caranya.
“kenapa? Jika sudah bertunangan,
pernikahan harus ditentukan secepatnya bukan?”
“tidak oma, oma juga harus mempertimbangkan
orang tuanya, dan juga kuliahnya.” katanya. “oma, andrea kuliah kedokteran, dan
ini bukanlah pelajaran sembarangan.” jelasnya dengan nada sedikit mengancam.
“aku akan menunggu sampai andrea selesai kuliah dan juga sampai dia siap untuk
menikah denganku.”
“terlalu lama Oei junior!”
tantang nenek tidak mau menyerah. Oma juga tahu dengan orang tuamu dan
kuliahmu, tapi..”
“Oma! Bisakah oma untuk
menghargai keputusanku kali ini saja? Selama ini aku patuh pada setiap
perkataan oma, dan sampai hari ini aku mengikuti perintah oma untuk bertunangan
dengan siapapun yang akan oma pilih sampai aku bisa membawakan seorang calon
yang sesuai criteria oma. Apakah oma harus mengatur seluruh kehidupan
pribadiku?”
“Edgar!” desisku tajam. Tega
sekali kau berbicara seperti itu. Oma termenung sesaat, mungkin merenungi apa
yang telah dilakukannya selama hidup Edgar sampai saat ini, tapi tetap saja ia
tidak berhak untuk berbicara seperti itu pada oma.
“baiklah. Sampai andrea selesai
kuliah.” Jawab oma menyerah.
“dan sampai dia siap untuk
menikah denganku.” Tambah Edgar lagi.
“tentu saja dia sudah akan siap
untuk menikah denganmu. Iya kan sayang?” balas oma dengan senyum nakal disudut
bibirnya.
“hahahaha.” aku hanya bisa
tertawa kecil berjalan mengikuti langkah oma masuk kembali ke ballroom.
No comments:
Post a Comment
Glad to have you here :)