Saturday, April 05, 2014

1. Everything happens for a reason, yeah a reason!

Ku hanya termenung menatap tubuhnya yang gagah itu kaku. Entah aku yang terdiam atau dunia seakan berhenti menunggu satu jawaban pasti keluar dari bibirku. Ku tak mampu lagi berkata-kata, apalagi yang harus kukatakan. Dunia seakan jatuh jika ku harus membuka mulut ini.
“jika itu yang memang kau harapkan, silahkan aku tidak akan memaksamu untuk tetap bersamaku.” Jawabku perih.
“bukan apa yang kuharapkan ind, ini juga untuk kamu.”
Aku menganggukkan kepala, ingin mengerti tapi tidak pernah kumengerti arti percakapan kami berdua ini.
“apakah memang harus begini?”
Dia berjalan mendekapku begitu erat didadanya yang bidang, mengelus rambutku seperti biasanya. Tak peduli berapa banyak pasang mata yang menatap kami berdua saat ini.
“aku juga tidak ingin begini, tapi kita berdua terlalu larut dalam dunia kita sendiri.”
Rasanya aku tak ingin melepaskan pelukannya yang mungkin akan menjadi pelukan hangat terakhir yang bisa kumiliki. Rasanya, aku ingin muntah. Perutku bergejolak, atau hatiku yang rasanya sesak. Semuanya bercampur aduk. Entahlah.
***

BRUK!!
“hey, hey tolong bantu, ada yang pingsan!!” terdengar suara perempuan yang histeris diikuti oleh beberapa teriakan lainnya. “segera bawa ke poli!” “anak mana?” “entahlah.” “kenapa dia?” “sepertinya pingsan.” Beberapa percakapan kecil terdengar sayup-sayup dijauh sana.
Langit-langit ruangan tampak suram, bekas-bekas air merembes dari plafon membuat putihnya cat langit-langit ruangan itu menjadi coklat tak beraturan di dua tempat. Sepertinya butuh diganti.
“apakah kau baik-baik saja?” sebuah pertanyaan sederhana yang langsung terdengar olehku, entah ditujukan kepadaku atau pada orang lain. Seseorang menengadahkan wajahnya tepat diatas wajahku yang sekarang kusadari sedang dalam keadaan berbaring. Membuat pandanganku akan langit-langit ruangan yang kotor itu terganti oleh wajah seorang pemuda sebaya denganku, sepertinya.
“aku?” tanyaku memastikan.
“tentu saja.”
“sedikit lemas.” Jawabku parau. “aku haus.”
Mendengar kalimat terakhirku, dia langsung menyibukkan dirinya dengan mengambil minum yang berada disamping tempat tidurku ini. Aku berusaha untuk bangun, tapi kepalaku pusing sekali. Aku dipapah duduk bersandar dengan bantal oleh pemuda ini. Dia juga membantuku untuk minum.
“terima kasih.”
Seorang wanita tiba-tiba masuk memecah kekosongan diantara kami berdua. Aku mengenal wanita ini, dia mengajar waktu blok biomedik 3.
“Indah Andreana, apakah kau sudah sarapan?” Tanya wanita itu yang kukenal sebagai dr. Briana.
“halo dok, belum nih, biasanya juga aku ngga sarapan.”
“trus kenapa kau pingsan? Kamu begadang semalam?”
“ngga dok, tidurku cukup, makan cukup, hanya saja akhir-akhir ini aku tidak pada tempatnya, dok.”
“tidak pada tempatnya, apa maksudmu?” tanya dokter bingung dengan maksudku.
“entahlah, apakah aku bisa pergi dari sini dok?” tanyaku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan yang tak ingin kuceritakan pada siapapun.
“istirahatlah dulu, kamu sudah terlambat masuk kelas sejam yang lalu, lagian temanmu ini sudah membuatkan surat izin sakit untukmu.” Jawabnya sembari menatap pemuda yang masih diam mematung disampingku. “kalau ada apa-apa, panggil penjaga poli saja didepan.” Katanya lagi, tapi tidak tertuju padaku, melainkan pada pemuda ini.
“b-baik.” Jawab pemuda ini dengan suara bass-nya
Aku menatap kepergian dokter Ria sampai tertutupnya pintu ruangan ini dan bergantian menatap pemuda disampingku sekarang. Dia menatapku balik, menatap lekat-lekat wajahku. Seakan-akan ia menitih setiap sudut wajahku entah apa yang ada dibalik pikirannya.
“Edgar.” Ucapnya memecah keheningan sambil tatap-tatapan aneh antara kita berdua sambil mengulurkan kelingkingnya.
Aku lebih menatapnya heran. ‘kelingking?’ batinku.
Dia menjulurkan kelingkingnya hingga tepat didepan mataku. Aku masih melongo menatapnya. Dia membantu mengambil jari kelingkingku dan mengaitkan dengan kelingkingnya. Hal yang sebenarnya bisa kulakukan tapi entah mengapa susah tuk dilakukan.
“ehm… terima kasih”
Gantian dia sekarang yang menatapku pongo. Aku ingin tertawa menatapnya tapi kuberusaha menahannya.
“maaf, namaku Indah, Indah Andreana.” Jawabku lagi. “harusnya kau melihat wajah bodohmu tadi.”
Ucapku akhirnya tak tahan untuk tertawa. Wajah pemuda itu berubah masam ketika kubilang bodoh. “oh tidak, aku hanya bercanda, apakah kau menganggapnya serius?” kataku lagi masih sempat tertawa.
Sepertinya iya. “ok, baiklah maafkan aku.” Jawabku sendiri berusaha mengontrol tawa dan nafasku.
“Indah Andreana, S1 Pendidikan Dokter.” Katanya setelah melihatku puas tertawa dan masih menahan tawa disudut bibirku. Mengulurkan sesuatu seperti mencocokkan dengan sebuah foto. Itu kartu mahasiswaku! “how innocents you were! And now….” Katanya lagi menatap foto yang ada ditangannya berusaha membandingkan dengan diriku sekarang.
“now what?” tanyaku mendesaknya, penasaran.
“pity…”
Seketika bagian duniaku yang terkubur dalam sana bangkit kembali menguap panas keatas.
“begitulah” jawabku lirih.
“kenapa?” tanyanya. “apa yang tidak pada tempatnya? Apa yang terjadi?” tanyanya panjang.
Aku memicingkan mata menatapnya. ‘who the hell are you exactly?’
“kembalikan kartuku.”
“Tidak!” jawabnya ketus.
“ndre, apakah kau baik-baik saja?” Tanya seorang pemuda yang tergesa-gesa membuka pintu kamar itu yang spontan langsung memecah kekosongan jawaban ketus dari pemuda yang baru saja kukenal 5 menit yang lalu.
Kevin memeriksa keadaanku begitu cepat, meraba dahiku menimbang-nimbang apakah aku demam atau tidak, memelas pipiku dan menggenggam erat tanganku, seperti aku ini akan pecah jika jatuh lagi.
“aku tidak apa-apa.” Jawabku datar.
“lalu kenapa kau ada disini?”
“sedikit sakit, mungkin.”
“itu berarti kau tidak apa-apa, bodoh!” jawabnya gamblang, ya seperti Kevin yang kukenal. Seperti tak pernah ada hal besar yang terjadi yang sebenarnya telah membuat jarak diantara kita. “ayo kuantar kau pulang.”
“tidak perlu, aku masih ada kelas.”
“kau bisa minta izin ‘kan?” jawabnya tak mau kalah.
“aku ingin istirahat disini sebentar lagi.” Elakku. “mana barang-barangmu?”
“itu bukan hal yang penting, apakah kau tidak memikirkan keadaanmu sekarang?”
“kembalilah ke kelasmu, kau bisa mengantarku pulang setelah kelasku selesai.”
“kenapa kau sungguh begitu keras kepala?”
“jadi maumu gimana?”
“kamu pulang dan beristirahat.”
“aku bisa beristirahat disini dan melanjutkan kelasku jika aku sudah pulih.”
Kevin menghela nafas panjang, ia tahu betapa sulit untuk berargumen denganku disaat seperti ini.
“ok, kamu selesai jam berapa?”
“jam 4.”
“tunggu aku didepan gedung M, dan jangan kemana-mana.”
“iya.” Jawabku singkat.
Kevin masih didepanku, memelas wajahku seperti boneka kaca yang akan pecah. Tak peduli ada orang atau tidak, dia, Kevin hanya menganggap orang-orang disekitarnya seperti pohon. Kecupan kecil didahi melayang halus dari bibirnya yang tipis. Edgar yang berada dibelakangnya, melongo, kepalanya bengkok kesamping berusaha agar dia terlihat oleh mataku. Tentu saja aku bisa menatapnya.
“sleep tight baby.” bisiknya manis ditelingaku. Entah Kevin sengaja atau tidak, dia sepertinya ingin membuat pemuda yang ada didepanku untuk menjadi seperti kepiting rebus. ‘apakah kevin berpikir aku sudah punya pacar baru?’ batinku melotot menatapnya tersenyum nakal disudut bibirnya dan pergi.
“apakah harus sedemikian dramatisnya hidupmu?” tanyanya setelah pintu itu tertutup.
“maksudmu?”
“tidak pada tempatnya, sepertinya sedang kasmaran.”
“HUH!” urutku mengontrol emosi berusaha turun dari ranjang sempit ini. Argh aku masih sedikit pusing.
“kau mau kemana?”
“kembalikan kartuku.”
“bukan jawabannya.”
Aku mengambil tas yang terduduk lemas dikursi, meninggalkan orang yang telah menolongku tapi sedikit sinting tidak mau mengembalikan kartu mahasiswaku. Juga ke-kepo-annya yang kelewatan.

Aku berjalan menyusuri jalanan kampus yang begitu lenggang, sinar matahari begitu hangat menghujani setiap sudut kampus. Rasanya nyaman. Gedung M, tujuan utamaku. Setelah kartu mahasiswaku dibajak oleh orang yang tak dikenal, lebih baik aku membuat yang baru, lagian yang lama fotonya jelek.
“permisi pak, saya mau buat kartu mahasiswa lagi, kartunya hilang.” Alasan yang paling aman, nyaman dan tidak salah.
“ehm tidak usah pak, saya sudah menemukan kartu dia yang hilang.” Interupsinya dibelakangku sebelum bapak yang duduk didalam loket ruangan administrasi ini menjawab. “makasih pak.”
“sama-sama.” Jawab bapak itu mengakhiri pembicaraan yang dipikirnya hanya mempermainkannya.
Ia menarikku keluar dari ruangan itu.
“hey man, what’s your matter?” tuturku ketus melepaskan diri setelah keluar dari gedung M.
“ini kartumu kan?” tanyanya mengangkat kartu itu ditangannya.
Aku menatapnya bergantian dengan kartu itu dibalik poniku yang sepertinya sudah panjang kembali.
“tidak semudah itu.” Tangannya reflex menghindar ketika aku ingin meraihnya.
“ok, ambillah jika kau mau, aku bisa membuatnya lagi.”
“kau pikir dirimu siapa? Bisa mempermainkan bapak tadi untuk yang kedua kalinya?”
“dan kau pikir dirimu siapa mengatai aku seperti itu, mengambil kartuku semaumu?” jawabku kemudian meninggalkannya.
‘hah yasudahlah toh aku bisa membuatnya lagi suatu hari, ya suatu hari!’ batinku mantap.
***
“hey ndre, gimana kabarmu? Astaga pingsanmu sangat fantastis!”
“heh?” Tanyaku pongo.
“HAHAHA” teman-teman gengku tertawa, “iya ndre, ini kan pertama kali kau pingsan, didepan gedung I lagi. Tadi sih yang sempat lihat Ellsa, tapi dia ngga sanggup untuk menggendongmu.”
“iya ndre, walaupun kamu kurus, tapi tetap saja kamu berat. Untung ada yang mau berbaik hati menggendongmu sendirian dari gedung I sampai poli lho, hebat!”
“oh iya, siapa dia ndre? Udah kenalan belum? Anak mana?”
“hah? Dia ya? Entahlah, orangnya ngga jelas.”
“what?!” pekik Areytha. “jadi kamu tidak tahu siapa pemuda itu? Screw you, Andreana! Apakah matamu buta?” areytha masih tidak habis pikir bagaimana aku tidak menanyakan asal usul pemuda tampan itu, yang sebenarnya menurutku freak.
“ya begitulah.”
“but at least, you know his name, right?”
“Edgar.”
Teman-teman segeng langsung bisik-bisik mendengar namanya.
“by the way kamu pingsan kenapa sih? Kevin?”
Aku tidak ingin menjawab pertanyaan satu itu, terlalu berat. “aku tidak ingin menyinggung hal itu sekarang.”
***

“jadi…. Siapa dia?” Tanya Kevin setelah begitu lama kekosongan diantara kita, kali pertamanya aku diantar pulang semenjak ENDED day buat kami berdua.
“bukan siapa-siapa.” Jawabku polos menatap layar smartphone mengutak-atiknya daripada melongo dalam mobil ditengah macetnya kota Jakarta dijam pulang kantor seperti ini.
“yakin?”
“absolutely.”
“apakah kau ingin mampir dulu disuatu tempat?”
“tidak, hanya antarkan saja aku pulang.”
***

No comments:

Post a Comment

Glad to have you here :)

CLICK FOR MONEY!

FellowEquality.com