“kamu ingin aku memulai
darimana?”
Aku menatap lurus kedepan, seakan
mengisyaratkan orang yang bertanya tersebut untuk melanjutkan ceritanya yang
mungkin terdengar mengerikan.
“Dave sempat menjadi pecandu.”
Mulainya tanpa menilai reaksiku. “kurang lebih 2 tahun yang lalu dia di rehab.”
Lanjutnya lagi menimbang-nimbang. “vina, pacarnya juga sempat terjerumus, tapi
sayang dia OD.
“mereka berdua menjadi pelajaran
bagi keluarga kami, bahwa tidak selamanya uang bisa membeli kebahagiaan. Ketika
kami semua mengira bahwa kami baik-baik saja, tapi ternyata kami membusuk dari
dalam. Kami berusaha untuk bangkit kembali, walaupun aku sadar keluarga kami
rentan dengan kehidupan gelap seperti Dave. Banyak yang mengincar posisi oma,
kamu sudah tahu bagaimana kekayaan itu bisa menguasai hawa nafsu seseorang. Aku
yang memang sudah ditetapkan untuk menjadi pemegang utama Oei group merasa
lelah dengan semua ini. Tapi aku tidak akan begitu saja menyerahkan hasil kerja
keras oma selama ini ke tangan yang salah. Ini adalah perusahaan yang dibangun
oleh oma dan kakek dengan susah payah. Jadi aku akan bertanggung jawab,
walaupun aku harus terlihat seperti tamak akan kekuasaan untuk menjadi penerus
perusahaan ini. Akan terasa sulit memang dalam hubungan kita, jujur, hatiku
masih mencintai Sylvia. Tidak semudah itu melupakan dia.” Akhirinya, seperti
ada sesuatu yang mencekat tenggorokannya.
“well, kamu bisa meneruskan
hubunganmu dengan Sylvia. Aku tidak akan menjadi penghalang buatmu dan dia.”
Balasku jujur, tidak ingin menjadi pengganggu hubungan orang, apalagi aku bukan
siapa-siapa.
“kamu tidak mengerti juga?”
tanyanya putus asa, menghela nafas panjang. “oma tidak menyukai keluarganya
Sylvia karena sampai detik ini, oma masih mengganggap keluarganya adalah dalang
kecelakaan yang terjadi pada kedua orangtuaku. Dan aku tidak bisa dengan
mudahnya membangun hubungan dengan mereka, apalagi oma tahu kebusukan ayah
Sylvia untuk menguasai perusahaan ini.”
“apakah kamu akan begitu saja
melepaskan cintamu hanya karna kecelakaan orangtuamu yang belum tentu adalah
kesalahan orangtua Sylvia?”
“aku bukannya tidak
menyelidikinya Andreana.” Balas Edgar terdengar frustasi. “Semua bukti-bukti
yang tidak konkrit mengarah ke ayah Sylvia. Aku juga sempat frustasi mengenai
hal ini, Sylvia juga. Lalu kami memutuskan untuk menjalani hubungan di belakang
oma. Tapi semuanya terasa sulit sekarang.”
“terserah.” Kataku seakan tidak
mau peduli. “aku tidak ingin bermain permainan ini lagi. Aku takut, aku lelah.”
Lanjutku. “kamu bisa menurunkan aku didepan pos jaganya saja.” Kataku menunjuk
sebuah pos berwarna orange.
“jika kamu benar-benar ingin
memperjuangkan apa yang oma dulu perjuangkan, harusnya kamu juga bisa
memperjuangkan apa yang ingin kamu perjuangkan saat ini. Jika itu memang sulit
dilakukan, tentukan prioritasmu. Karna kamu harus berkorban untuk sesuatu yang
harus kamu perjuangkan, begitulah hukumnya. Terima kasih untuk tumpangannya.”
Aku menutup pintu disampingku dan
melihat dia sebentar yang terlihat kesal dan frustasi. ‘hukumnya?’ batinku ngeri.
***
Aku sering melihat Edgar dan
Sylvia tampak akur dikampus, entahlah aku tidak pernah melihat mereka berdua
selain dari tempat ini. Edgar sepertinya sedang menghindariku selama seminggu
ini karena setiap kali aku berpapasan dengan dia dijalan, di daerah kampus
tentunya, dia tidak menyapaku dan bahkan tidak menatapku sama sekali. Jika
dimasukkan dalam kosakata koas, aku ini sedang “di-invins” untuk invincible.
Terserahlah, aku tidak peduli lagi, invis dan lost contact yang terjadi telah kuanggap sebagai berakhirnya
hubungan kami. Cukup aku simpan sendiri kisah aneh yang menimpaku beberapa
minggu belakangan ini dan aku tidak ingin menambah-nambahinya dengan yang lebih
aneh lagi. Aku pun sudah mengikhlaskan Kevin, ’dia bisa move on kenapa aku ngga?’ kataku dalam hati menghibur diri sendiri.
“hai.”
Terdengar sapa seseorang, yang
mengalihkan perhatianku pada sebuah novel terjemahan ditanganku.
“ehm, hai.” Jawabku tergagap,
orang itu tersenyum kepadaku dan terdiam sesaat sebelum dia melanjutkannya.
“ok, aku memang tidak kenal
dirimu.” Katanya setelah mungkin sedang menyusun kata-kata dikepalanya. “aku
tidak tahu apa isi hatimu saat ini, namun aku mohon padamu untuk tidak
meninggalkan Edgar.” Katanya langsung to
the point.
Aku mengernyitkan dahiku seolah
sedang berpikir keras, tidak biasa mendapatkan percakapan yang langsung ke
intinya tanpa basa-basi. “aku tidak mengerti.”
“aku yakin kamu mengerti
maksudku. Aku tidak bisa bersamanya dan itu baru kusadari selama 1 minggu ini
bersamanya tanpa diganggu oleh kehadiranmu.”
“o-oh..” jawabku reflex. “j-.”
aku baru saja akan melanjutkan keterkejutanku yang mengetahui alasan kenapa
Edgar menghindariku namun disela oleh perempuan tampang bourjuis didepanku ini.
“Edgar akan kehilangan
segala-galanya.”
Hati dan pikiranku langsung
mencelos. ‘kehilangan segala-galanya?’ aku langsung menyadari apa maksud dari
isi percakapan ini. “jika Edgar kehilangan segalanya, lantas apakah kamu akan
tetap disisinya?” tenggorokanku tercekat melontarkan pertanyaan lancang seperti
itu.
Wajah perempuan didepanku tampak
tidak suka dengan pertanyaanku, tergambar jelas kegelisahan dan kegundahannya
sebelum ia menjawab “iya” yang singkat padat jelas itu.
“apakah kamu tahu, yang menyuruh
Edgar untuk memperjuangkan cintanya daripada harta dan apapun itu dalam
keluarganya itu aku?”
Wajah perempuan itu berubah
kemerahan walaupun sebenarnya dia sudah memakai perona pipi, dan semakin jelas
dengan naturalyl blushing yang
dialaminya sekarang. Kemudian dia tertawa sarkastik seakan menutup perasaan
malunya. “ini tidak seperti drama-drama yang ada di tivi andreana!” jawabnya
sarkastik. “kamu pikir aku tidak mau memperjuangkan dia untuk tetap disisiku?
Mengeyampingkan masalah keluarga kami yang begitu complicated ini? Mungkin aku salah meminta pertolongan dari orang
sepertimu.” Tandasnya lagi.
“orang sepertiku? Maksudnya dari
orang segi social ekonomi menengah?” tanyaku memperjelas sambil menatap dia
tajam ingin sekali melayangkan sebuah tamparan di wajah cantiknya. Perempuan
itu seperti menyesal melontarkan kata-kata barusan. “satu hal yang kuyakini,
jika kamu diantara dua pilihan sulit, kamu harus memprioritaskan mana yang akan
kamu pilih bahkan kamu perlu berkorban untuk pilihan tersebut. Dan kupikir
Edgar telah menentukan apa yang mesti dia perjuangkan agar kelak dia tidak
menyesal.”
Aku menunggu perempuan itu
membalas kata-kataku, namun seakan tahu dia tidak akan membalas aku melanjutkan
kalimatku. “dan sepertinya kamu tidak bisa menerima itu, aku tidak tahu
alasanmu apa..” lanjutku sedikit melunak. “..namun dari kegelisahanmu dan
pertemuan kita yang straight to the point
aku meyakini kamu tidak setuju dengan pilihan Edgar. Kuharap kamu tidak
menyesal dengan pilihanmu ini.”
Wajah perempuan itu semakin merah
seakan kata-kataku barusan telah menamparnya keras-keras juga sedikit terkejut
kalau aku menyadari perubahan-perubahan sikap tubuhnya yang menunjukkan
kegelisahan dan suaranya terdengar bergetar sedari awal kami beradu pandang.
“aku tanya sekali lagi, apakah
kamu yakin dengan pilihanmu? Karena aku bukan tipe wanita pengganggu, perusak
atau apapun istilahnya yang akan menjadi orang ketiga dan siap berbagi denganmu.” Tanyaku dengan nada
suara bergetar ketika menyebutkan kata ‘berbagi’ barusan.
Perempuan itu tidak menjawab
malah seperti menerawang lewat bola mataku.
“that would be a no for me.” Jawabku akhirnya setelah sekian lama
kita beradu pandang. Akhirnya lega bisa membuat pencerahan pada perempuan ini,
kenalkan dia Sylvia yang walaupun dia tidak mengenalkan dirinya padaku. Aku
hendak beranjak dari situ ketika melihat dia hanya menerawang dan
mengacuhkanku.
“apakah tidak ada cara lain?”
Aku tercengang mendengarkan
pertanyaan itu. Seolah-olah perempuan ini ingin mendapatkan semuanya,
seolah-olah dia tidak siap dengan kata-kataku barusan yang seperti maju
berperang dan seola-olah dia kehabisan pikir sehingga wajah ke-desperate-annya muncul untuk bertanya
padaku. “apakah kamu tahu ada kata e-ye-de dalam tata bahasa kita yang berbunyi
PENGORBANAN?” tanyaku pura-pura berpikir sebentar dan langsung meninggalkannya
dan kantin itu yang sudah sarat akan pengunjung karena sudah waktunya makan
siang.
‘jangan menoleh, jangan menoleh,
jangan menoleh.’ Batinku kuat. Aku tidak ingin melihat wajah Sylvia yang
seperti baru saja ditampar itu membuatku seakan-akan adalah penyebab dia
seperti itu. membuatku seperti orang jahat disitu. Mungkin aku menjadi orang
yang tidak peka bahwa suatu hubungan itu tidak butuh cinta, tapi materi. Makan
cinta? Tidak mungkin, bukan?
***
“andrea, bisakah kita bicara
sebentar?”
Perhatianku teralih dari
pembicaraan kelompokku yang seru di kantin siang itu. Kami sedang membahas advanced team yang akan berangkat besok
dan apa saja yang akan kami lakukan sampai ditempat tujuan kegiatan bakti
kesehatan kami. Tentunya setelah kami mendapatkan beberapa bocoran tempat
wisata dan kuliner yang enak disana. Tujuan utama advanced team dibentuk bukan ini pastinya.
“o-oh.” Aku memandang orang yang
mengajakku barusan. “aku ijin sebentar ya, aku segera kembali.” Lanjutku
setelah melihat orang itu. Teman-teman langsung melanjutkan obrolan mereka dan
aku meninggalkan kantin itu.
“ada apa?”
“aku ingin kamu mencobanya.”
Tubuhku menegang mendengar
kata-kata itu. “Syl, aku yakin kamu tidak mengenal aku seperti apa, karena aku
adalah tipe orang yang akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan apa
yang aku inginkan. Dan jika aku sudah memulai sesuatu pasti akan aku
selesaikan.” Jawabku seperti ada nyala api dalam mataku kemudian meninggalkan
dia.
“aku ingin melepaskannya.”
Balasnya membuatku langkahku berhenti. Aku membalikkan badanku menatapnya
lekat-lekat. “aku tidak akan mengganggunya lagi.” Lanjutku setelah menerima
hujan tatapan apiku.
“baik!” jawabku ketus. “dengan
ini aku menganggapnya bahwa antara kamu dan Edgar tidak ada hubungan apapun lagi,
jadi aku akan merasa lebih leluasa untuk dekat dengannya!” aku mempercepat
langkahku, takut aku menyesal dengan kata-kataku barusan atau malahan Sylvia
ingin merubahnya kembali. Aku sudah cukup muak dengan pembicaraan ini.
***
Dengan langkah gontai aku menuju
pintu flatku hendak membukakan pintu
bagi orang gila yang bertamu pagi-pagi di hari minggu. ‘ada ya orang yang tidak
menghargai hari libur?’ batinku kesal.
“hei.” Sapanya. “aku bawakan kamu
sarapan.” Kemudian langsung masuk tanpa kupersilahkan.
Masih setengah mengantuk, aku
mengikutinya ke meja makan kecil. “kemarin aku bertemu Sylvia.” Ucapku setelah
terdapat keheningan diantara sarapan mendadak ini.
“aku tahu.”
“aku sudah berkata kasar
padanya.”
“memang dia pantas
mendapatkannya.”
“apakah kamu benar-benar mau
berkorban untuknya?”
“tidak.”
“mungkin aku telah salah
menganggapmu, harusnya kamu berjuang untuknya.”
Edgar tertawa sarkastik.
“menurutmu apakah dia juga
demikian?”
“aku juga perempuan Edgar! Aku
tahu bagaimana perasaannya sekarang. Aku tidak ingin menjadi bagian
kekecewaannya. Mungkin saat ini kamu dapat berkata bahwa dia memang pantas
mendapatkannya, but I expected it wont be
that too long, because you love her.”
Edgar menatapku tampak putus asa.
Pancaran cahaya dari matanya seperti yang kulihat sebelumnya, milik Sylvia.
“Maafkan aku Ndre, mungkin ini
bukan jawaban yang kamu inginkan dariku. Maafkan aku tidak bisa menjaga
perasaanmu.” Katanya setelah beberapa saat menatapku putus asa. Kemudian ia
berjalan ke arahku dan memandangku lekat-lekat, “tapi disatu sisi aku ingin
sekali menjagamu, kamu sudah seperti teman lamaku dan kamu juga sudah seperti
adikku sendiri.” Edgar terdengar canggung menyebut diriku sebagai adiknya. “aku
memang tidak punya adik, tapi tumbuh bersama Tyar dan Lily membuatku tahu
bagaimana cara seorang kakak untuk menjaga adik-adiknya.”
“Thanks.” Jawabku singkat sambil
tersenyum.
“maaf selama ini aku begitu
egois. Aku akan menjelaskan semuanya pada oma. Dan semoga oma memaafkan kita
berdua.”
Aku terdiam tidak tahu harus
berkata apa-apa. “kamu tidak perlu menjelaskan apapun pada oma, kita masih bisa
meneruskan peran kita masing-masing. Aku hanya ingin kamu jangan berpura-pura
lagi dihadapanku terhadap Sylvia, aku muak melihatnya. Seakan-akan akulah
penghancur hubungan kalian.”
Edgar tertawa getir. “apakah kau
yakin?”
Aku mengangguk. “dan aku ingin
kamu berjanji satu hal untukku.”
Edgar menatapku tepat dikedua
bola mataku seakan menyuruhku untuk jangan berhenti berbicara.
“tetaplah seperti itu. Menjadi
teman lamamu. Menjadi adik angkatmu. Berjanjilah untuk tidak memberikan suatu
perasaan, apapun itu, kepadaku. Karena setiap perempuan akan mempunyai perasaan
kepada seseorang yang dekat dengannya walaupun sedikit, tapi kini aku akan
menganggapmu sebagai kakakku, dan kamu akan menganggapku sebagai adikmu.
Ingatlah bahwa kamu pernah mencintai Sylvia sampai kamu ingin mengorbankan
segala-galanya untuk dia hari ini. Ingatlah bahwa kita berdua adalah
kakak-adik, saudara sedarah, mulai hari ini.” Ucapku panjang, tatapanku rasanya
kosong, dan perasaanku? Tidak usah ditanya, tidak ada yang aku rasakan, rasanya
seperti baal.
“kamu adik terbaikku.” Balasnya
sambil memberiku ciuman dikepalaku. “kamu juga harus mulai membiasakan kalau
aku menciummu seperti ini.” Lanjutnya menatap mataku. Aku tidak tahu bagaimana
tampangku saat ini, aku mudah tersipu dan menjadi merah, blushing. “orang-orang akan bingung jika kita tidak bertingkah laku
seperti pasangan pada umumnya. Aku akan lebih sering menggenggam tanganmu,
memelukmu, dan bahkan menciummu didepan umum.” Lanjutnya. “ha, ha, ha, tenang
saja, aku hanya akan menciummu dikepala dan tidak lebih dari itu.” lanjutnya
lagi melihat reaksiku ketika mendengar kata ciuman.
“well, I guess that’s fair enough.”
“Baiklah, aku akan mengantarmu
skarang ke tempat vina.”
“oh ok.” Jawabku karena aku
sendiri pun lupa bahwa aku harus pergi ke tempat vina, dan bahwa kami akan
ujian lusa nanti. “bagaimana pernikahan kak As?” tanyaku sambil mengikuti
langkahnya keluar flat-ku
Edgar menatapku kebingungan. “apakah
kau benar-benar bodoh atau benar-benar tidak tahu apa yang terjadi?”
“apa?” balasku kesal disebut
bodoh.
“pernikahan kak As ditunda sampai
bulan depan gara-gara kamu tidak bisa hadir.”
“WHAT?????” pekikku. “apakaha kau
bercanda?”
“apakah aku terlihat seperti
sedang bercanda?”
“tidak.. tapi… maksudku..” aku
tidak tahu harus berkata apalagi.
“pernikahan kak As ditunda sampai
tanggal 22 Desember nanti, aku harap kau mengosongkan harimu itu untuknya
karena acaranya akan sangat merepotkan. Aku tidak tahu bagaimana dia
melakukannya.”
“tunggu dulu..” bantahku. “apakah
yang kau bilang barusan itu.. ehm.. pernikahannya.. ehm.. ditunda karena aku?”
“tentu saja, kak As sangat
mengkhawatirkanmu. Ditambah dia sangat kecewa karena aku tidak bisa menjagamu,
dia tahu kalau kita sempat lost contact
sekitar 1 minggu ini. Dia khawatir teman-teman Dave akan mendatangimu lagi,
makanya dia menyewa seseorang untuk menjagamu dari jauh.”
“hah?” aku hanya bisa melongo
didepan Edgar saat ini. Tidak tahu apa yang harus dikatakan, semuanya terlalu
banyak, aku merasa tidak bisa mencernanya.
“sampaikan permintaan maafku
untuk kak As.”
“untuk apa?”
“untuk pernikahannya yang
tertunda.”
“kak As yang ingin sekali meminta
maaf padamu Ndre.” Balasnya sambil memutar stirnya memasuki sebuah apartemen.
“dia ingin mengadakan bachelor party
lagi mungkin, tapi mungkin itu tidak bisa disebut party lagi, karena ada Oma disana. Apakah kamu masih ingin di
mobilku atau turun belajar ke tempat vina?”
Aku mengerjap beberapa kali dan
baru menyadari bahwa kami telah sampai di apartemen vina yang tidak begitu jauh
dari flat-ku. “thanks!” jawabku
kemudian mengambil semua barang-barang dari mobilnya.
“don’t mention it.”